Jumat, 05 Agustus 2011

YESUS ROTI HIDUP

Renungan Minggu VII Trinitatis, 07 Agutus 2011: 


(Yohanes 6:30-35)


          Saudaraku ! Ada banyak macam-macam roti. Ada roti bolu, ada pula roti kelapa. Ada roti pandan, ada pula roti kacang. Ada roti gandum, ada pula roti Bali. Ada pula roti manis, ada juga roti asin. Jenisnya macam-macam. Rasanya pun beraneka. Semuanya itu pasti sedap dan lezat untuk dinikmati. Enak…….. !

          Namun, setiap kita makan roti itu, setiap itu pula kita segera akan lapar. Kenyang sebentar, lalu lapar sebentar lagi. Semua orang yang makan roti jenis itu tidak pernah kenyang untuk selama-lamanya. Kecuali roti yang satu ini. Apa itu ? 

          Dialah YESUS SANG ROTI HIDUP. Yesus dalam ayat 35 berfirman: Akulah Roti yang memberi hidup. Orang yang datang kepadaKu tidak akan lapar untuk selamanya. Orang yang percaya kepadaKu tidak akan haus untuk selama-lamanya

          Yesus mengatakan itu dalam rangka meluruskan motivasi yang salah dari orang banyak yang mengikuti Tuhan Yesus. Di awal fasal 6 ini, memang Yesus memberi makan sebanyak 5000 orang, hanya dengan  berbekalkan lima roti dan dua ikan yang sedang dipegang seorang anak (Yoh 6:9). Semua mereka makan dengan puas dan kenyang. Malah ternyata masih tersisa 12 bakul lagi makanan (Yoh 6:12-13). 

          Dalam sebuah istilah Batak, ada yang disebut dengan ungkapan: Ida-ida na butong, jora-jora na male. Maksud sederhananya, seseorang menjadi ketagihan kalau kenyang, dan minta ampun kalau kelaparan. Mengingat peristiwa makan kenyang dan puas tadi, mereka menjadi ketagihan datang kepada Yesus.
                                     
          Nah di sini Yesus melihat ada motivasi yang salah dan keliru. Maka itu, Yesus menegaskan bahwa mereka datang bukan karena telah mengerti keajaiban Tuhan, tetapi sebab mereka sudah makan dengan kenyang. Mereka hanya datang mencari makanan yang segera busuk; bukan mencari makanan yang sejati dan menghidupkan.

          Mereka menginginkan Yesus memberi bukti. Kalau dahulu, nenek moyang mereka dapat beroleh manna di padang gurun. Itu artinya Musa seolah lebih tinggi menurut mereka dibandingkan Yesus. Inilah kesalahan motivasi serta kebutaan mata mereka. Musa tidak pernah memberi roti dari dirinya sendiri. Dia hanya alat di tangan Tuhan. Tetapi Yesus adalah roti hidup itu sendiri. Manna itu memang dapat bertahan 2 atau tiga hari. Tetapi Yesus Roti hidup, kekal selama-lamanya.

          Saudaraku ! Marilah kita mengikut Tuhan bukan demi perut yang sejengkal ini. Perut memang perlu berisi. Namun, tanpa Tuhan semua itu sia-sia semata.  Jauhlah dari kita hidup bergereja untuk mengejar kerakusan atau hamongkuson. Itu tidak pernah memuaskan jiwa, meski sebentar dapat mengenyangkan perut. Makanan dan minuman hanya sekedar ‘human needs’ (Yun: bios). Setelah itu dia akan diproses dalam tubuh lalu berubah menjadi sampah atau istilah ilmiahnya menjadi H-2-S.
                                     
           Orang yang menjadikan makanan dan harta sebagai tujuan hidup ialah orang bodoh. Mengapa ?  Karena perut dan harta tidak pernah menjamin hidup kita sejahtera (bnd. Ams 23:4; 28:20,22). Banyak harta bukan berarti otomatis lama hidup, dan sedikit harta bukan berarti  cepat mati. Tanpa makan, memang tubuh kita tidak bisa hidup, namun tanpa makan bukan berarti kita tidak dapat memiliki hidup . Betul, bukan ?

          Hidup kita hanya terjamin di tangan Yesus, sang Roti hidup. Namun bukan berarti kita tidak perlu makan dan minum. Maksudnya, jangan sampai kita ber-Tuhankan perut. Aneka roti di atas memang penting. Namun Yesus Roti hidup, bukan saja terpenting, namun mutlak dalam kehidupan beriman kita. Amin !
 (

banner_siburian@yahoo.com

www.bannersiburian.blogspot.com

Jumat, 15 Juli 2011

BUAH SULUNG

(Ulangan 26:1-4; Lukas 17:11-19)

          Saudaraku yang kekasih ! Ada banyak macam atau jenis buah. Ada buah mangga, ada buah pepaya dan juga buah kedondong serta buah jambu dan berbagai macam buah lainnya. Ada juga buah dalam arti sebutan dengan makna lain. Kalau Tuhan memberi anak, maka si bayi itu disebut dengan si buah hati. Kalau seseorang memiliki pandangan yang baik, maka hal itu disebut dengan buah pemikiran. Kalau seseorang membawa oleh-oleh, yang dibawanya itu disebut dengan buah tangan.

          Nah, kalau orang memberi persembahan yang terbaik dan yang pertama-tama, apakah itu namanya ?  Itulah yang disebut dengan BUAH SULUNG. Disebut ‘sulung’, bukan karena ada buah bungsu, atau buah ‘anak tengah’. Maksudnya adalah karena adanya pengakuan yang sejati, bahwa Tuhanlah yang memberi kita berkat dalam kehidupan ini. Tanpa Tuhan, hidup ini hambar tanpa arti. 

          Buah sulung itu adalah milik Tuhan. Maka buah sulung wajib dipersembahkan kepada Tuhan sendiri. Buah sulung bukan pemberian. Dalam Perjanjian Lama (PL) buah sulung itu sekali lagi adalah milik Tuhan, dan oleh karena itu, dia wajib dipersembahkan bagi Tuhan. 
                                     
          Itulah yang perintah Tuhan bagi orang Israel (sekaligus bagi kita), di saat Israel sudah masuk ke tanah Kanaan dan berdiam di sana. Hasil pertama dari segala yang mereka kumpulkan dari tanah mereka, haruslah dimasukkan ke dalam sebuah bakul, lalu dibawa ke tempat yang dipilih Tuhan untuk dipersembahkan bagiNya. 

          Kita juga sekarang sejatinya mengingat dan melakukan firman Tuhan ini. Persembahan sulung ini perlu kita hidupkan kembali. Buah pertama dari hasil tanah kita, atau pekerjaan kita, atau dari jabatan kita, sepatutnya kita persembahkan bagi Tuhan. Orang yang baru bekerja, persembahkanlah buah sulungmu kepada Tuhan. Orang yang baru menikah, biasakanlah memberi persembahan sulung di depan altar seusai menerima berkat nikah. Orang yang baru promosi jabatan, orang yang baru naik pangkat, orang yang baru beroleh hasil tanah dan lain-lain, terpanggil untuk mempersembahkan buah sulungnya, atau hasil pertama dari buah pekerjaan, karya, jabatan dan berbagai profesi lainnya. 
                                     
          Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristuslah buah sulung bagi setiap orang beriman. Maksudnya, bila kita betul-betul percaya kepada Yesus Kristus, Juruselamat kita, maka keselamatan itu menjadi ‘motor atau penggerak iman’ bagi kita untuk memberi persembahan dengan tulus. Persembahan itu bukan pemberian (“silehon-lehon”) kepada Tuhan. Tetapi perhatikanlah dengan seksama ayat 3, bahwa persembahan itu adalah wujud pengakuan iman percaya, bahwa Tuhanlah yang menghantar Israel ke tanah perjanjian, juga menghantar dan mendahului kita dalam setiap derap langkah kita di mana pun kita berada.  
          Saudaraku yang kekasih ! Marilah kita menghidupkan kembali persembahan sulung ini di abad modern ini. Tuhan sumber segala berkat, setia memberkati kita semua, baik pekerjaan, keluarga, usaha, duka dan suka serta segenap lika-liku kehidupan kita.  Tuhan memberkati kita semua. Amin !   

 

Pdt Banner Siburian, MTh

Riwayat HIdup I.L. Nommensen

Nama lengkapnya adalah Ingwer Ludwig Nommensen. Dia dilahirkan di Noordstrand  tanggal 6 Februari 1834. Dia adalah satu-satunya anak laki-laki, dengan tiga orang saudara perempuan. Dia disidikan pada minggu Palmarum tahun 1849. Memperoleh pendidikan Sekolah Pendeta di Barmen tahun 1857-1861, beserta kursus-kursus bahasa, seperti bahasa Latin, bahasa Yunani dan bahasa Batak. Ditahbiskan menjadi pendeta pada tanggal 13 Oktober 1861, satu minggu setelah pertemuan ke-empat penginjil di Parausorat, Sipirok. Dia menikah di Sibolga dengan Nona C.M. Gubrodt pada tanggal 6 Maret 1866.
Dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya selalu sakit-sakitan, dan meninggal sewaktu Nommensen berumur 14 tahun (tanggal 21 Juli 1848). Sejak Nommensen berumur 8 tahun. Dia sudah mulai bekerja sebagai pekerja upahan, agar kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Pada awalnya dia bekerja sebagai pekerja upahan dengan menggembalakan ternak orang lain. Pada umur 10 tahun, dia menjadi pekerja upahan dengan bertani di sawah orang lain.
Pada umur 13 tahun dia digilas oleh sado. Kakinya terinjak oleh kuda yang membawa sado itu. Selama enam bulan dia lumpuh. Kakinya terus bernanah. Dokter mengatakan: “Kalau mau hidup, kakinya harus dipotong”. Namun, Nommensen tidak bersedia. Nommensen membaca dan merenungkan firman Tuhan dari Yohanes 6:23-26. Setelah itu, dia berdoa: “Ya Allah, sembuhkanlah kaki saya dan suruhlah aku ke tengah-tengah orang penyembah berhala”.
Enam minggu kemudian penyakitnya sembuh. Dia bisa menginjakkan kakinya seperti biasanya. Maka didorong oleh janjinya itulah, hati Nommensen selalu tergerak untuk memberitakan Injil di tengah-tengah penyembah berhala.
Pada usia 19 tahun, Nommensen sebenarnya sudah berkemas pergi berlayar ke tengah-tengah orang penyembah berhala untuk memberitakan Firman Tuhan. Dia selalu teringat dan didorong oleh apa yang telah dijanjikannya sejak berumur 13 tahun, tepatnya pada tahun 1847. Kemudian pada tahun 1853, dia juga berkemas untuk berlayar. Namun tak satupun dari antara sekian banyak kapal yang bersedia membawanya. 
Dan pada tahun 1851-1853, dia kembali bekerja sebagai gembala biri-biri (domba) pada suatu pulau yang berdekatan dengan desa tempat tinggalnya. Di situ dia sakit keras. Majikannya mengantarkannya pulang ke rumah orangtuanya.
Setelah sembuh dari penyakitnya itu, dia kembali bekerja sebagai buruh untuk membuat jalan kereta api antara Hisum dan Rendsburg. Namun, di situpun dia tidak bekerja dalam waktu yang lama. Wabah kolera yang terjadi di sana, membuatnya harus segera kembali lagi ke kampung halamannya. Sambil menantikan adiknya lahir, Lucia, dia juga bekerja sebagai pekerja upahan untuk membuat tembok di desanya.
Kemudian hari dia berangkat ke desa pamannya di kota Okkolm. Di sana dia bekerja sebagai guru pembantu. Tahun 1854-1855, dia menjadi guru pembantu di Risum. Tahun 1855-1857 dia menjadi guru pembantu di Elberfeld.
Setelah ditahbiskan menjadi pendeta, maka tanggal 1 November 1861, Nommensen berangkat menuju Belanda untuk bertemu dengan Pdt. Witteveen, yang telah mengutus Betz dan Van Asselt ke Sumatera. Di sana, dia berkenalan dengan van der Tuuk, yang sebelumnya telah mengunjungi Sumatera dan banyak belajar mengenai orang Batak. Saat itulah dia juga belajar bahasa Batak dari van der Tuuk. Lalu tanggal 24 Desember 1861, Ingwer Ludwig Nommensen menompang kapal PERTINAX, berlayar menuju Sumatera melalui Nieuwendiep.
Dalam pelayaran menuju Sumatera dari Eropah, pada suatu malam Nommensen tidak bisa tertidur. Dia mendengar suatu suara supaya dia naik ke atas. Setelah naik ke atas, dia melihat kapal yang membawa mereka hampir bertabrakan dengan sebuah kapal besar, sedangkan semua anak kapal sedang tertidur. Dengan cepat semua anak kapal dibangunkannya. Kemudian kemudi kapal diambil-alih, sehingga tabrakan maut dapat dihindari.
Dia berlayar selama 142 hari, lalu tiba tanggal 16 Mei 1862 di Padang. Kemudian tanggal 16 Juni dia tiba di Sipirok, dan  terus melanjutkan perjalanan ke Barus pada tanggal 25 Juni 1861, dan kemudian tinggal di Barus selama kurang lebih enam bulan.
Saat itu, Residen Tapanuli tidak mengizinkan Nommensen berdiam di Barus, karena alasan dominasi Islam yang kuat di daerah pesisir, sulitnya sarana jalan menuju pusat tanah Batak melalui Humbang serta pemerintah kolonial yang tidak dapat menjamin keselamatannya di sana. Sebelumnya, rencana Nommensen adalah membuat Barus sebagai basis pekabaran Injil ke dataran tinggi Toba menuju Rambe dan Pakkat.
Karena itu, Nommensen memutar haluan. Dia mengubah rencana dan strategi. Tanggal 30 November, dia meninggalkan Barus menuju Sibolga. Pada tanggal 30 Desember dia memutar haluan dan berangkat menuju Sipirok. Dia bertemu dengan Heine di Sigompulon dan dengan van Asselt di Sarulla, lalu bertemu dengan Klammer di Sipirok sekaligus bertahun baru di sana. Setelah itu, Nommensen tinggal di Parausorat-Sipirok selama 10 bulan. Di situ dia melakukan pekabaran Injil, mengajar anak-anak dan mengunjungi orang-orang sakit.
Setelah kurang lebih 10 tahun  berada dan mengbarkan Injil di Sipirok, maka pada tanggal 7 November 1863, Nommensen berangkat menuju Silindung, lalu tiba di suatu tempat antara Lumbanbaringin Sitompul dan Pansurnapitu. Itulah yang disebut dengan puncak bukit Siatasbarita. Dari situ, Nommensen jelas melihat lembah Silindung. Di situ dia beristirahat serta memanjatkan doa dan tekad serta nazarnya: Hidup atau mati, aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini, berdiam memberitakan firmanMu. Dalam sepucuk surat yang dikirimnya ke Barmen, dia menuliskan penglihatan itu sebagai visi masa depan tanah dan masyarakat Batak:
“Dalam roh saya melihat di mana-mana jemaat-jemaat Kristen, sekolah-sekolah dan gereja-gereja. Orang-orang Batak, tua dan muda, berjalan ke gereja-gereja itu. Di setiap pejuru saya mendengar bunyi lonceng gereja memanggil orang-orang beriman datang ke rumah Allah. Saya melihat di mana-mana sawah dan kebun-kebun diusahakan, padang-padang penggembalaan dan hutan-hutan yang hijau, kampung-kampung dan kediaman-kediaman yang teratur yang di dalamnya terdapat keturunan-keturunan yang berpakaian pantas. Saya melihat pendeta-pendeta dan guru-guru orang pribumi berdiri di atas mimbar, menunjukkan cara hidup Kristen kepada yang muda maupun yang tua. Anda mengatakan bahwa seorang pemimpi, tetapi saya berkata, tidak. Saya tidak bermimpi. Iman saya melihat itu semua. Hal itu akan terjadi, karena seluruh kerajaan akan menjadi milikNya dan setiap lidah akan mengetahui bahwa Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa. Karena itu, saya merasa gembira, walaupun mereka mungkin menentang firman Allah, yang mereka lakukan tepat seperti mudahnya mencegah firman Allah dari hati mereka. Suatu aliran berkat pastilah akan mengalir atas mereka. Hari sudah mulai terbit. Segera cahaya terang akan menembus, kemudian Matahari Kebenaran dalam segala kemuliaanNya akan bersinar atas seluruh tepi langit tanah Batak, dari Selatan bahkan sampai ke pantai-pantai Laut Toba”.
Nommensen berhasil mendirikan Huta Dame, Saitnihuta sebagai ‘pargodungon’ pertama di tanah Batak bagian utara. Dia berdiam di sana selama 9 tahun. Pada tahun 1872, Nommensen pindah dari Huta Dame ke Pearaja, lalu mendirikan rumah dan gereja pada tanah yang diberikan oleh Raja Pontas Lumbantobing (kemudian disebut dengan Obaja). Nommensen pindah ke Pearaja, karena tempat gereja dan perumahan yang ada di Huta Dame sering kebanjiran dan tergenang air.
Demikianlah Nommensen terus mengabarkan Injil serta mengajar. Dari Pearaja Nommensen menyebarkan Injil menuju Toba, Balige, bersama-sama dengan Pdt. Johannsen dan Pdt. Simoneit. Pada tahun 1886, Nommensen juga tinggal di Laguboti serta mengabarkan Injil di sana serta di Sigumpar.
Nommensen mengalami banyak tantangan bahkan duka di dalam keluarga, saat dia mempertaruhkan nyawanya untuk pekerjaan pemberitaan Injil. Anak perempuan sulungnya, bernama Anna, meninggal dunia tanggal 10 Juli 1872. Sembilan hari kemudian, tepatnya 19 Juli 1872, Ny Nommensen jatuh sakit, yang kian hari kian berat. Maka, Ny Nommensen kemudian pindah dan tinggal di Eropah pada tahun 1880. Dan pada tanggal 29 Maret 1886, dia meninggal dunia di sana. Nommensen tidak dapat menghadirinya, karena pekerjaan Injil dan tinggal di Sigumpar. Pada tanggal 23 Mei 1918, Nommensen juga menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Mujizat Tuhan telah nyata. Tuhan sendirilah yang menolong dan mendahuluiNya dalam memberitakan Injil. Karya Nommensen tetap hidup hingga kini. Sungguh luar biasa. Melalui pekerjaan pemberitaan Injil Nommensen, kini kita dapat memetik banyak perenungan kehidupan dari padanya, terutama dalam arak-arakan penginjilan melalui sikap, perangai, perbuatan, tingkah-laku maupun tutur kata kita.
Marilah kita juga meneladani sikap Nommensen, yang imannya kokoh, tekadnya membaja, keteguhan dan kerendahan hatinya, pengharapannya yang teguh serta kesetiaan dan kesungguhannya untuk berserah kepada tangan kuasa Tuhan.
Selamat berjubileum 150 tahun HKBP. Horas HKBP !  

                            Pdt Banner Siburian, MTh

Sabtu, 26 Maret 2011

HKBP (Heine, Klammer, Betz P-van Asselt


H.K.B.P.

(Heine, Klammer, Betz, P-van Asselt)


Pecahnya Perang Hidayat
Perang Banjar pecah di Kalimantan tahun 1859. Pangeran Hidayat, pemimpin rakyat Banjar melakukan perlawanan besar kepada kolonial Belanda. Pasalnya, Belanda berniat mengukuhkan seorang calon sultan yang tidak dikehendaki rakyat. Maksudnya: Sultan boneka belanda. Maka terjadilah perang. Dan ternyata, perang itu berakibat sangat fatal terhadap masa depan dan kelangsungan penginjilan di sana.
Perang itu lama-lama semakin meluas. Awalnya perang itu hanya memancing kebencian kepada kolonial Belanda, namun kemudian meluas menjadi kebencian kepada bangsa Eropah pada umumnya. Missi zending Rheinisce Mission Gesellschaft (RMG) dari Jerman pun ikut kena batunya. Dalam perang Hidayat itu, tiga orang Pekabar Injil dari Jerman tewas terbunuh. Yang lain mengungsi, termasuk Klammer.
Pekerjaan RMG di Kalimantan menjadi tertimpa bencana. Maka, pimpinan RMG di Jerman saat itu, Dr Friedrich Fabri melakukan kunjungan ke Belanda. Di Belanda Friedrich Fabri bertemu dengan van der Tuuk, seorang ahli di negara Belanda yang banyak menulis tentang ke-Batak-an. Van der Tuuk memberi masukan kepada Dr Fabri, agar turut mempertimbangkan tanah Batak sebagai wilayah penginjilan mereka, khususnya yang ada di daerah Sipirok.
Memutar Haluan Penginjilan

Mengingat kondisi Kalimantan yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk meneruskan pelayanan penginjilan, maka Tuhan menggerakkan hati dan pikiran Dr Friedrich Fabri untuk memutar haluan ke tanah Batak. Lalu RMG mengutus dua orang pekabar Injil ke tanah Batak, yakni Johann Carl Klammer dan Wilhelm Carl Heine (Di sini perlu pendalaman lebih lanjut. Dr Jan S Aritonang, menyebut bahwa dua zendeling RMG itu adalah Klammer dan Betz, dalam bukunya: Sejarah Pendidikan Kristen, BPK-GM, Jakarta, 1988, hl 147).
Sebelumnya pekabar Injil dari Belanda telah ada melayani di tanah Batak. Lalu Heine dan Klammer menemui mereka di sana, yakni van Asselt dan Betz. Mereka bertemu pada tanggal 7 Oktober 1861 di Parausorat (Bukan tahun 1863, seperti ditulis oleh Th van den End dalam: Harta Dalam Bejana (Sejarah Gereja Ringkas), BPK-GM, 1987, hl 263). Pada pertemuan itu mereka menggumuli secara khusus Kitab Mika 4:1 yang mengatakan: “ Gunung rumah TUHAN  akan berdiri tegak mengatasi gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke sana”.
Kesepakatan Parausorat

Dalam pertemuan dan perundingan delapan mata itu, mereka membicarakan apa dan bagaimana strategi untuk pekabaran Injil ke tanah Batak. Mereka tiba pada kesepakatan untuk membagi pekerjaan pekabaran Injil berdasarkan wilayah. Klammer melayani di Sipirok, Betz melayani di Bungabondar. Sementara itu, van Asselt dan Heine bertugas melayani ke tanah Batak bagian utara. Mereka juga menyepakati pembangunan dalam tiga pilar pelayanan pargodungan (christendom) secara simultan, yaitu: secara serentak membangun gereja, sekolah dan pusat pelayanan kesehatan.
Pertemuan dan kesepakatan di Parausorat itu, merupakan pertemuan yang amat bersejarah. Bersejarah, karena dengan pertemuan itu pekabaran Injil dilakukan secara terorganisir di tanah Batak. Strategi, kesepakan dan pembagian tugas ini menjadikan Injil menyebar dengan cepat. Buktinya,  Klammer mendirikan jemaat Sipirok dan Betz mendirikan jemaat Bungabondar, keduanya pada tahun 1861 itu. Dan pada tahun 1862, van Asselt mendirikan jemaat di Sarulla, sementara Heine mendirikan jemaat Sigompulon.
Pertemuan dan kesepatakan ke-empat pekabar Injil itulah yang kemudian dijadikan sebagai tanggal lahir HKBP. Entah karena kebetulan, nama awal mereka telah turut menginspirasi nama HKBP, yaitu: Heine, Klammer,  Betz, dan P-van Asselt. Kita tahu, huruf v dalam ‘surat Batak’ tidak ada. Kemudian, kalau nenek-moyang kita mengatakan huruf ‘v’, agaknya capek, dan sedikit kurang sopan, karena harus sedikit menjulurkan bibir ke depan (coba saja). Maka nenek moyang kita menyederhanakannya dengan menyebut huruf ‘v’ menjadi ‘p’. Maka, menyebut van Asselt lebih gampang dan lebih pas dengan melafalnya menjadi ‘Pan Asselt’.

Konferensi Pekabar Injil 1905

Pada rapat itu, mereka menyepakati bersama tempat atau daerah yang akan mereka layani. Mereka tidak ingin bekerja dan melayani secara terpisah. Mereka bertekad melayani dengan bersatu padu serta terpadu. Untuk selanjutnya mereka mengadakan rapat tahunan, untuk membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha dan upaya pekabaran Injil di tanah Batak. Dengan adanya rapat atau konperensi tahunan itu, para pekabar Injil telah mempunyai satu tonggak yang kuat sekaligus sebagai tumpuan mereka dalam melayani di tanah Batak.
Tanggal 7 Oktober ini, kemudian pada Konferensi Pekabar Injil tahun 1905, disepakati oleh peserta dengan menjadikannya sebagai hari jadi atau tanggal lahir HKBP. Tanggal ini dipilih berdasarkan hari pertemuan kesepakatan dan pembagian tugas penginjilan ke empat penginjil, yakni: Heine, Klammer, Betz dan van Asselt yang bertempat di Parausorat, dekat Sipirok. Nama lengkap mereka adalah: Wilhelm Carl Heine, Johann Carl Klammer, Friedrich Wilhelm Gottlieb Betz dan Gerrit van Asselt. Diputuskan juga pada saat konferensi Pekabar Injil itu, bahwa pada setiap tanggal 7 Oktober itulah HKBP merayakan jubileumnya.
 Sebetulnya, setengah tahun sebelum pertemuan 7 Oktober, sebelumnya, tepatnya tanggal 31 Maret 1861, merupakan hari yang sangat bersejarah juga di tanah Batak. Mengapa ? Karena pada tanggal 31 Maret 1861 itulah baptisan pertama dilakukan di tanah Batak. Pada tanggal itulah, Simon Siregar, seorang anak raja, dan Jakobus Pohan Tampubolon, seorang bekas budak yang ditemukan van Asslet di Barus, dibaptiskan. Kedua orang itulah orang Batak yang pertama mengaku Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Namun bukan tanggal ini yang dijadikan sebagai hari jadi atau tanggal lahir HKBP.
Lahirnya HKBP tidak dilandaskan pada satu hasil badan zending, tetapi kebersamaan zending RMG dan zending Ermelo (atau ‘gereja bebas’) dari Belanda. Sedikit berbeda dengan pemahaman Pdt A. Panggabean. Menurutnya, pembabtisan pertama adalah tanggal 2 April 1861. Ini merupakan karya penginjilan badan zending, yang disebut dengan “gereja bebas”, yang mengirim 4 orang penginjil, yakni: van Asselt, Damerboer, van Dalen dan Betz).
HKBP Kini dan Masa Mendatang

Maha besar kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kepada kita gereja HKBP secara khusus dan kepada ‘bangso’ Batak secara umum. Hingga Januari 2011 (Lihat: Pdt Ramlan Hutahaean, MTh: Berakar, Dibangun, Tumbuh di Dalam Dia, Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung, 2011, hl 93), HKBP telah memiliki 4,1 juta jiwa. Jumlah yang sangat luar biasa ini, dilayani di dalam 26 distrik, 614 ressort, 3.226 huria atau jemaat. Selain itu juga terdapat 41 pos pelayanan Injil dan 25 pos pekabaran Injil.
HKBP kini dilayani oleh hamba-hamba Tuhan, dengan 2.590 orang pelayan tahbisan. Mereka terdiri dari 1.470 pendeta, 428 huru huria, 408 bibelvrouw dan 284 diakones. Diperkiran pada penghujung tahun 2011 ini, para hamba Tuhan yang melayani di seluruh HKBP akan mencapai 2.861 orang. 
Selamat berjubileum 150 tahun HKBP. Horas HKBP !
        

Pdt Banner Siburian, MTh
www.bannersiburian.blogspot.com

Jumat, 25 Maret 2011

HKBP (Heine, Klammer, Betz P-van Asselt



Pecahnya Perang Hidayat
Perang Banjar pecah di Kalimantan tahun 1859. Pangeran Hidayat, pemimpin rakyat Banjar melakukan perlawanan besar kepada kolonial Belanda. Pasalnya, Belanda berniat mengukuhkan seorang calon sultan yang tidak dikehendaki rakyat. Maksudnya: Sultan boneka belanda. Maka terjadilah perang. Dan ternyata, perang itu berakibat sangat fatal terhadap masa depan dan kelangsungan penginjilan di sana.
Perang itu lama-lama semakin meluas. Awalnya perang itu hanya memancing kebencian kepada kolonial Belanda, namun kemudian meluas menjadi kebencian kepada bangsa Eropah pada umumnya. Missi zending Rheinisce Mission Gesellschaft (RMG) dari Jerman pun ikut kena batunya. Dalam perang Hidayat itu, tiga orang Pekabar Injil dari Jerman tewas terbunuh. Yang lain mengungsi, termasuk Klammer.
Pekerjaan RMG di Kalimantan menjadi tertimpa bencana. Maka, pimpinan RMG di Jerman saat itu, Dr Friedrich Fabri melakukan kunjungan ke Belanda. Di Belanda Friedrich Fabri bertemu dengan van der Tuuk, seorang ahli di negara Belanda yang banyak menulis tentang ke-Batak-an. Van der Tuuk memberi masukan kepada Dr Fabri, agar turut mempertimbangkan tanah Batak sebagai wilayah penginjilan mereka, khususnya yang ada di daerah Sipirok.
Memutar Haluan Penginjilan

Mengingat kondisi Kalimantan yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk meneruskan pelayanan penginjilan, maka Tuhan menggerakkan hati dan pikiran Dr Friedrich Fabri untuk memutar haluan ke tanah Batak. Lalu RMG mengutus dua orang pekabar Injil ke tanah Batak, yakni Johann Carl Klammer dan Wilhelm Carl Heine (Di sini perlu pendalaman lebih lanjut. Dr Jan S Aritonang, menyebut bahwa dua zendeling RMG itu adalah Klammer dan Betz, dalam bukunya: Sejarah Pendidikan Kristen, BPK-GM, Jakarta, 1988, hl 147).
Sebelumnya pekabar Injil dari Belanda telah ada melayani di tanah Batak. Lalu Heine dan Klammer menemui mereka di sana, yakni van Asselt dan Betz. Mereka bertemu pada tanggal 7 Oktober 1861 di Parausorat (Bukan tahun 1863, seperti ditulis oleh Th van den End dalam: Harta Dalam Bejana (Sejarah Gereja Ringkas), BPK-GM, 1987, hl 263). Pada pertemuan itu mereka menggumuli secara khusus Kitab Mika 4:1 yang mengatakan: “ Gunung rumah TUHAN  akan berdiri tegak mengatasi gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke sana”.
Kesepakatan Parausorat

Dalam pertemuan dan perundingan delapan mata itu, mereka membicarakan apa dan bagaimana strategi untuk pekabaran Injil ke tanah Batak. Mereka tiba pada kesepakatan untuk membagi pekerjaan pekabaran Injil berdasarkan wilayah. Klammer melayani di Sipirok, Betz melayani di Bungabondar. Sementara itu, van Asselt dan Heine bertugas melayani ke tanah Batak bagian utara. Mereka juga menyepakati pembangunan dalam tiga pilar pelayanan pargodungan (christendom) secara simultan, yaitu: secara serentak membangun gereja, sekolah dan pusat pelayanan kesehatan.
Pertemuan dan kesepakatan di Parausorat itu, merupakan pertemuan yang amat bersejarah. Bersejarah, karena dengan pertemuan itu pekabaran Injil dilakukan secara terorganisir di tanah Batak. Strategi, kesepakan dan pembagian tugas ini menjadikan Injil menyebar dengan cepat. Buktinya,  Klammer mendirikan jemaat Sipirok dan Betz mendirikan jemaat Bungabondar, keduanya pada tahun 1861 itu. Dan pada tahun 1862, van Asselt mendirikan jemaat di Sarulla, sementara Heine mendirikan jemaat Sigompulon.
Pertemuan dan kesepatakan ke-empat pekabar Injil itulah yang kemudian dijadikan sebagai tanggal lahir HKBP. Entah karena kebetulan, nama awal mereka telah turut menginspirasi nama HKBP, yaitu: Heine, Klammer,  Betz, dan P-van Asselt. Kita tahu, huruf v dalam ‘surat Batak’ tidak ada. Kemudian, kalau nenek-moyang kita mengatakan huruf ‘v’, agaknya capek, dan sedikit kurang sopan, karena harus sedikit menjulurkan bibir ke depan (coba saja). Maka nenek moyang kita menyederhanakannya dengan menyebut huruf ‘v’ menjadi ‘p’. Maka, menyebut van Asselt lebih gampang dan lebih pas dengan melafalnya menjadi ‘Pan Asselt’.

Konferensi Pekabar Injil 1905

Pada rapat itu, mereka menyepakati bersama tempat atau daerah yang akan mereka layani. Mereka tidak ingin bekerja dan melayani secara terpisah. Mereka bertekad melayani dengan bersatu padu serta terpadu. Untuk selanjutnya mereka mengadakan rapat tahunan, untuk membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha dan upaya pekabaran Injil di tanah Batak. Dengan adanya rapat atau konperensi tahunan itu, para pekabar Injil telah mempunyai satu tonggak yang kuat sekaligus sebagai tumpuan mereka dalam melayani di tanah Batak.
Tanggal 7 Oktober ini, kemudian pada Konferensi Pekabar Injil tahun 1905, disepakati oleh peserta dengan menjadikannya sebagai hari jadi atau tanggal lahir HKBP. Tanggal ini dipilih berdasarkan hari pertemuan kesepakatan dan pembagian tugas penginjilan ke empat penginjil, yakni: Heine, Klammer, Betz dan van Asselt yang bertempat di Parausorat, dekat Sipirok. Nama lengkap mereka adalah: Wilhelm Carl Heine, Johann Carl Klammer, Friedrich Wilhelm Gottlieb Betz dan Gerrit van Asselt. Diputuskan juga pada saat konferensi Pekabar Injil itu, bahwa pada setiap tanggal 7 Oktober itulah HKBP merayakan jubileumnya.
 Sebetulnya, setengah tahun sebelum pertemuan 7 Oktober, sebelumnya, tepatnya tanggal 31 Maret 1861, merupakan hari yang sangat bersejarah juga di tanah Batak. Mengapa ? Karena pada tanggal 31 Maret 1861 itulah baptisan pertama dilakukan di tanah Batak. Pada tanggal itulah, Simon Siregar, seorang anak raja, dan Jakobus Pohan Tampubolon, seorang bekas budak yang ditemukan van Asslet di Barus, dibaptiskan. Kedua orang itulah orang Batak yang pertama mengaku Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Namun bukan tanggal ini yang dijadikan sebagai hari jadi atau tanggal lahir HKBP.
Lahirnya HKBP tidak dilandaskan pada satu hasil badan zending, tetapi kebersamaan zending RMG dan zending Ermelo (atau ‘gereja bebas’) dari Belanda. Sedikit berbeda dengan pemahaman Pdt A. Panggabean. Menurutnya, pembabtisan pertama adalah tanggal 2 April 1861. Ini merupakan karya penginjilan badan zending, yang disebut dengan “gereja bebas”, yang mengirim 4 orang penginjil, yakni: van Asselt, Damerboer, van Dalen dan Betz).
HKBP Kini dan Masa Mendatang

Maha besar kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kepada kita gereja HKBP secara khusus dan kepada ‘bangso’ Batak secara umum. Hingga Januari 2011 (Lihat: Pdt Ramlan Hutahaean, MTh: Berakar, Dibangun, Tumbuh di Dalam Dia, Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung, 2011, hl 93), HKBP telah memiliki 4,1 juta jiwa. Jumlah yang sangat luar biasa ini, dilayani di dalam 26 distrik, 614 ressort, 3.226 huria atau jemaat. Selain itu juga terdapat 41 pos pelayanan Injil dan 25 pos pekabaran Injil.
HKBP kini dilayani oleh hamba-hamba Tuhan, dengan 2.590 orang pelayan tahbisan. Mereka terdiri dari 1.470 pendeta, 428 huru huria, 408 bibelvrouw dan 284 diakones. Diperkiran pada penghujung tahun 2011 ini, para hamba Tuhan yang melayani di seluruh HKBP akan mencapai 2.861 orang. 
Selamat berjubileum 150 tahun HKBP. Horas HKBP !
        

Pdt Banner Siburian, MTh
www.bannersiburian.blogspot.com

BUKAN SEMBARANG JANDA


Renungan Minggu Okuli, 27 Maret 2011: 


 

(Pdt Banner Siburian, MTh)


            
          Saudaraku yang kekasih ! Ini kisah nyata saat Yesus melihat sendiri orang banyak memberi uang di peti persembahan di rumah Tuhan. Yesus melihat dan memperhatikan bahwa banyak orang memasukkan persembahannya di sana. Orang kaya juga memasukkan sejumlah uang. Namun, ada juga seorang janda miskin, yang turut memasukkan uang dua peser (nilai nominal uang terkecil saat itu). 

          Apa yang positif dari mereka ? Orang kaya memberi persembahannya. Janda miskin itu juga memberi persembahannya (Markus 12:41-44). Tidak ada yang datang dengan tangan kosong atau memberi amplop kosong tanpa isi. Mereka sama-sama ingat memberi persembahan. Siapapun kita, bagaimanapun keberadaan kita, kaya atau miskin, janganlah sampai lupa dan mengabaikan persembahan di hadapan Tuhan, yang setia memberkati dan mengasihi kita.

          Persembahan orang kaya itu, meski banyak secara nominal atau kuantitas, tidak lantas disanjung-sanjung oleh Yesus. Persembahan janda miskin, meski kecil secara kuantitas, namun tidak disepelekan Yesus. Sebaliknya, justru Yesus melihat adanya perbedaan mutu atau kualitas persembahan. Di mana letaknya ?
                                     
          Simaklah kembali ayat 43-44 ! Di mata Yesus, janda miskin itu lebih banyak memasukkan persembahannya ketimbang orang-orang kaya dan yang lainnya. Wah, bagaimana bisa ? Yesus memberi alasan, bahwa orang banyak itu memberi dari kelimpahannya. Bahasa sederhananya, mereka memberi dari kelebihan hartanya.  Sedangkan janda miskin itu justru memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, bahkan seluruh nafkahnya. 
                                     
          Persembahan itu kualitatif, karena cara, motivasi dan tekadnya memberi. Perhatikanlah sekali lagi ayat 44: dia memberi dari kekurangannya, semua nafkah yang ada padanya. Dia memberi saat dia membutuhkannya. Dia memberi saat dia berkekurangan. Dia memberi dengan tulus serta berserah sepenuhnya ke tangan Tuhan. Dia berani berkorban memberi tanpa kuatir akan masa depannya, sebab dia percaya, masa depannya ada di tangan Tuhan. Dia berani dalam iman dengan membelakangkan perhitungan matematis. Imannya mengalahkan segala akal sehatnya. Luar biasa !   

          Firman ini menyerukan agar setiap orang percaya menyadari betul akan berkat yang tak terhitung yang telah kita terima dari Tuhan. Apa dan seberapapun yang kita persembahkan, sesungguhnya semua itu adalah milik Tuhan, dan belum seberapa dibandingkan dengan berkat yang kita terima. Persembahan kita sejatinya harus seperti Buku Ende 204:2 ”Nasa na nilehonMi, tondi ro di pamatangku. Hosa dohot gogongki, ro di saluhut artangku. Hupasahat i tu Ho, na so unsatonku do”. 

          Janda miskin itu adalah orang tak punya (the haven’t) secara material, namun menjadi orang yang mempunyai (the have) dalam iman. Sebaliknya, orang-orang kaya lain adalah orang-orang yang mempunyai (the have) secara material, namun tidak punya (the haven’t) secara imaniah. Manakah yang kita pilih ? Pilihan etis ini tentu sangat sulit, bukan ? Kita maunya yang enaknya saja: Menjadi manusia the have dalam harta, dan the have dalam iman. Betul, tidak ?

          Saudaraku ! Tidak ada pilihan lain, selain mempersembahkan segenap hidup bagi Tuhan. Di sinilah letak keunggulan janda itu. Sudah janda, miskin lagi. Namun meski janda, hatinya tetap kaya. Dia bukan sembarang janda. Imannya mengalahkan segenap akal sehatnya. Maka kita semua, kaya atau miskin, janganlah memberi persembahan dari kelebihanmu, tetapi dari imanmu yang sejati. Amin ! 
                                     

www.bannersiburian.blogspot.com

Jumat, 04 Maret 2011

MENCARI SKALA PRIORITAS


Renungan Minggu Estomihi, 06 Maret 2011: 


Pdt Banner Siburian, MTh



Saudaraku ! Di desa Betania, adalah dua orang perempuan bersaudara tinggal, yakni Marta dan Maria, beserta seorang saudara laki-laki mereka, yakni Lazarus. Marta mengundang Yesus dan murid-muridnya ke rumahnya. Setelah di rumah, Maria, adik Marta, langsung duduk dekat kaki Yesus dan terus mendengar perkataanNya. Sementara itu, Marta sibuk sekali melayani (Lukas 10:38-42).
Melihat sikap adiknya itu, Marta berkata: Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan  aku melayani seorang diri ? Suruhlah dia membantu aku (ay 40). Yesus menjawab: Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya (ayat 41-42).
Kedua bersaudara perempuan itu memiliki dua cara pandang yang berbeda dalam hal menyambut Yesus. Maria duduk mendengar Yesus, tetapi Marta sibuk mempersiapkan jamuan. Sepintas, Maria memang tidak punya perasaan terhadap Marta. Maria kelihatannya seolah tidak menunjukkan sukacitanya dengan mempersiapkan segala yang perlu untuk menjamu Yesus. Padahal di balik sikap itu, Maria telah mendahulukan yang utama, yakni memakai kesempatan itu dengan seoptimal mungkin untuk sungguh-sungguh mendengarkan Tuhan Yesus. 
Di sisi lain, Marta sibuk. Dia berharap bahwa pelayanannya kepada Yesus menjadi tanda kasihnya kepadaNya. Marta ingin, agar Yesus mengetahui dan melihat niat baiknya itu. Marta ingin melayani, meski Yesus datang bukan untuk dilayani. Marta tidak memakai kesempatan mendengar Yesus. Kesibukannya merembes  dan mengakibatkan kecemburuan pada Maria. Bahkan kecemburuan itu meluas, sebab menurut Marta, Yesus tidak sepatutnya membiarkan Maria demikian. Akibatnya, Marta menjadi kehilangan makna kehadiran Yesus. Memang, keduanya mereka, sama-sama hendak melayani. Tetapi menurut Yesus, secara kualitatif, justru Maria telah memilih yang terbaik (Lukas 10:42). 
Dari Firman ini, kita dapat memetik pesan sejati untuk kita ukir dalam hati.  Pertama : Kita harus berani menentukan skala prioritas dalam hidup ini. Maksudnya ? Utamakan dan dahulukanlah yang terpenting di antara yang penting. Pilihlah yang terbaik di antara yang baik. Melayani Yes. Tetapi kehilangan Firman Tuhan, No. Makan dan minum penting. Tetapi makanan rohani, jauh lebih penting. Jangan sampai karena urusan perut, urusan sorga menjadi terabaikan.   
Kedua : Kesibukan tidak boleh menghambat kita untuk mendengar Firman Allah. Kesibukan tidak boleh diper-ilah. Firman Tuhan harus menjadi yang terutama dan terpenting. Jangan sampai kesibukan membuat kita lupa bergaul dengan Tuhan. Kesibukan bisa di-manage atau dikelola. Tetapi mendengar Firman Tuhan adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar. Janganlah menjadi manusia “Susi-Susi” (suka sibuk) tak menentu (si heppot), tetapi kehilangan kesempatan untuk memperoleh yang terutama. Waspadalah orang sibuk. Bijaklah menentukan skala prioritas hidupmu. Jadikanlah Yesus Kristus sebagai gunung batu, tempat perlindungan dan kubu pertahananmu (Mazmur 31:3). Tuhan memberkati saya, saudara dan kita semua. Amin ! 

banner_siburian@yahoo.com

www.bannersiburian.blogspot.com

Jumat, 25 Februari 2011

MARI BERJUBILEUM


Jubileum memiliki hakekat dan makna yang sejajar dengan sabbat (Kel 20:8-11). Kata sabbat berasal dari kata Ibrani syabbat, dari akar kata syavat: artinya ‘melepaskan’. Sabbat dipahami sebagai hari pembebasan yang mengacu kepada pengalaman bangsa Israel keluar dari perbudakan.


Dalam Keluaran 16:21-30 sabbat dikaitkan dengan pemberian “manna”, sebagai anugerah Tuhan (ay 29), yang diperuntukkan bagi istirahat dan demi kepentingan umat (ay 30). Sabbat adalah milik Tuhan (Kel 20:8-11,14). Karena itu, dia harus diindahkan sesuai dengan perintahNya (Bil 15:32-36).


Israel diperintahkan untuk mengindahkan sabbat, agar hamba laki-laki dan perempuan dapat beristirahat seperti mereka. Di sini aspek dan nilai kemanusiaan amat ditekankan. Sabbat diadakan adalah untuk dan demi manusia.


Mengacu kepada Imamat 25 (khususnya ayat 4-5) sabbat juga berkaitan dengan tanah perjanjian. Tanah harus mendapat perhentian (arets syabbat). Sesudah enam tahun masa menanam, pemeliharaan dan panen, tanah dibiarkan untuk tidak ditanami selama satu tahun.


Tanaman yang tumbuh di sana diperuntukkan bagi orang miskin dan hewan (Kel 23:11; Ul 15:2-18). Untuk menenangkan kekuatiran umat Israel akan kekurangan, Tuhan menjamin, bahwa tahun ke-enam akan disediakan cukup tuaian buat tiga tahun (Im 25:20ff).


Puncak tahun sabbat itu disebut tahun jubileum, yakni kelipatan 25 tahun, terutama yang berpuncak pada tahun ke-50 saat tahun berjalan. Kini, kita perlu memiliki kesamaan persepsi dasar akan arah jubileum 150 tahun HKBP serta penerapannya dalam hidup bergereja dan hidup sosial. 


Tahun Pembebasan Yang Memerdekakan

Jubileum memuat makna pembebasan dan pelepasan. Perbudakan harus dihentikan. Gereja sejatinya menerapkan muatan pembebasan itu, misalnya dengan kesungguhan membebaskan warga jemaat dari kungkungan RPP. Tentu diawali dengan pembinaan khusus, sebagai salah satu bentuk  manna dalam hidup bergereja.


Hamba laki-laki dan perempuan Israel diperintahkan untuk mengindahkan sabbat dengan waktu khusus istirahat. Ini perlu diperjuangkan, misalnya agar setiap pekerja gereja diberi waktu khusus untuk dapat beristirahat. Gereja juga harus menyuarakan suara nabiahnya, agar setiap instansi dan institusi yang ada (negeri atau swasta), memberi peluang dan kemerdekaan kepada warga jemaat untuk beribadah kepada Tuhan, sebagai hak yang harus dibayar tunai.


Israel memakai terompet dengan bahan dasar tanduk domba jantan untuk merayakan tahun pembebasan itu. Pada pesta itu, hak milik dikembalikan kepada pemilik asli. Hutang-hutang dinyatakan lunas. Orang yang menjadi budak akibat hutang harus dibebaskan. Jubileum menjadi momentum untuk aksi yang memerdekakan (Im 25:8ff).


Tahun Untuk Berbelas Kasihan

Dalam tahun jubileum ini sejatinya gereja harus tegas menunjukkan muatan berbelas kasihan (secara institusi/ lembaga), bahkan dari pribadi setiap warga gereja, dalam jabatan, pekerjaan, pangkat yang melekat dalam diri mereka. 

 

Bangsa Israel pernah menjadi budak di Mesir. Kemudian mereka dibebaskan. Maka Israel harus menerapkan perilaku dan tindakan berbelas-kasihan terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka (apakah sebagai budak atau pekerja misalnya). Yesus adalah Tuhan atas sabbat (Mrk 2:28). Bagi Yesus, sabbat yang sesungguhnya adalah demi manusia (Luk 4:16), bukan perayaan seremonial semata. Muatan sabbat adalah aksi dan tindakan untuk berbelas-kasihan (Yoh 5:1-18; Luk 13:10-17; 14:1-6).


Kita juga harus menunjukkan muatan pelayanan berbelas kasihan kepada pelayan gereja, pekerja bahkan para pembantu dalam rumah-tangga kita. Para pengusaha, pejabat, pemilik modal atau majikan, mereka semua seharusnya menunjukkan aksi bermurah hati kepada para karyawan serta orang-orang miskin  yang ada di lingkungan mereka.

 

Jubileum ini juga sekaligus menjadi momen penyadaran, bahwa manusia bukanlah pemilik tanah. Manusia hanya “mempunyainya” dalam kepercayaan atas Tuhan (Im 25:23). Orang Israel juga harus ingat dan sadar bahwa mereka tidak pernah memiliki apapun berdasarkan warisan. Mereka dahulu adalah budak di Mesir (Ul 15:15). Jubileum sekaligus menjadi tahun untuk berbelas-kasihan. 

 

 ‘Terompet’ Murah Hati

 

Kata jubileum itu sendiri berakar dari kata Ibrani yubilium, dari kata dasar yovel yang berarti ‘domba jantan’ dan ‘berterompet’ dengan musik dari  ‘tanduk domba jantan’ untuk merayakan tahun sukacita, tahun pembebasan.


Kita perlu mengaplikasikan bentuk “terompet tanduk domba jantan ini” masa kini, misalnya kembali kepada musik alami, atau memberi perhatian khusus kepada sound system yang sering “tertekan batin” di gereja. Musik dan sound system yang baik, tentu dapat mempengaruhi tingkat penerimaan warga jemaat dalam hidup beribadah. Molo batuk-batukon do mik i, ruas i pe mongkol-ongkol ma.

 

Kebesaran HKBP terlalu sering tidak diimbangi dengan fasilitas penunjang dalam gereja, semisal alat musik dan sound system yang lebih baik. Fasilitas penunjang lain, sejatinya harus membuat kita semua dapat bersukacita. Design rumah pelayanpun seyogyanya dapat membuat mereka melayani dengan penuh sukacita, dan dapat mempersiapkan khotbah (misalnya) dengan lebih baik.  

 

Kita bukan pemilik atas diri kita. Kita hanya “wadah Tuhan” untuk mengelola milikNya demi kemuliaanNya. Harta milik harus kita pakai dan persembahkan untuk menunjukkan kemurahan hati dalam gereja maupun dalam kehidupan sosial. Mengapa ? Tuhanlah pemilik atas segala yang ada pada kita. God is the owner of everything you have.     

 

Saat kita berjubileum, apakah itu jubileum jabatan pelayanan, atau jubileum pernikahan, atau pesta jubileum gereja, terutama jubileum 150 tahun HKBP, semua itu sejatinya harus diisi dengan muatan aksi yang membebaskan, muatan untuk bersyukur dan bermurah hati serta membawa sukacita di sekeliling kita. Mari berjubileum ! 

 

Pdt Banner Siburian, MTh

banner_siburian@yahoo.com

Jumat, 04 Februari 2011

PEJABAT YANG KREDIBEL


Renungan Minggu IV Epiphanias, 06 Pebruari 2011: 


 

(Pdt Banner Siburian, MTh)


                  
          Kredibilitas secara sederhana berarti dapat dipercaya. Maksudnya, perkataan seseorang itu dapat dipegang. Tindakannya membesarkan hati banyak orang. Perangainya sehari-hari pun patut dijadikan sebagai teladan. Jabatan atau pangkat yang melekat dalam dirinyapun, dipahami dan disandang serta dilakoninya sebagai amanat ilahi yang harus diemban demi kemaslahatan semua orang. Orang yang demikian disebut sebagai orang yang kredibel. Dia percaya kepada Tuhan. Dia dapat dipercaya. Dia menjadi orang terpercaya. Dia juga menjadi orang kepercayaan. 

          Kredibilitas seperti itulah yang dilakoni seorang perwira Roma dalam teks Matius 8:5-13 ini. Sebagai seorang perwira tinggi, tentu sudah biasa baginya memberi perintah untuk tugas-tugas kedinasan, tanpa ada bantahan. Pastilah dia juga seorang manager yang handal dalam menangani masalah-masalah besar. Pangkat dan jabatan yang dia sandang membuat dia memiliki kuasa yang besar untuk mengatur setiap orang di jajaran dan struktur yang dia pimpin. Di manakah letak kredibiltasnya ?
                                     
          Pertama: Dia adalah seorang perwira tinggi dan pejabat yang percaya kepada kuasa Tuhan Yesus. Percayanya juga bukan sembarang. Simaklah ayat 8. Dia seorang yang percaya dengan rendah hati. Dia sangat sadar, meski dia seorang yang terhormat, pejabat dan perwira tinggi, namun berhadapan dengan Yesus, dia merasa tidak ada apa-apanya. Bintang yang melekat di bahunya tidak menutup matanya untuk mempercayai Yesus Kristus. Bukan sembarang percaya. Sebab, imannya sangat kualitatif (ayat 10), bahkan melebihi kualitas iman yang terdapat di antara orang Israel sekalipun. Iman percayanya juga murni dan bulat; bukan setengah hati. Buktinya, saat Yesus mengatakan: “Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya”, maka saat itu juga sembuhlah hambanya itu (ayat 13).

          Kedua: Dia adalah seorang perwira yang rendah hati serta berjiwa satria untuk berkorban. Jabatan yang melekat dalam dirinya tidak membuatnya congkak dan tinggi hati. Kehormatannya sebagai seorang perwira dan pejabat penting tidak membuatnya sungkan mengemis minta tolong kepada Yesus (simak ayat 5). Biasanya, orang lainlah yang datang menyembah-nyembah kepadanya minta tolong. Tetapi di hadapan Yesus, dia hadir sebagai peminta-minta, tanpa rasa malu, tanpa kehilangan muka mengemis, apalagi yang diminta itu adalah untuk hambanya yang sedang sakit lumpuh. Padahal saat itu, seorang hamba atau budak, dianggap setara dengan hewan, benda mati atau sebagai ‘bahan’ komoditi  belaka saja. 

          Saudaraku yang kekasih ! Alangkah mahalnya sebuah kredibilitas. Bayangkan: Hamba yang sakit lumpuh itu beroleh kesembuhan, meski dalam hati, pastilah dia sedang menantikan kapan detik ajalnya tiba. Dia tidak berharap banyak, apalagi dari majikannya, mengingat statusnya sebagai budak, sudah lazim baginya tidak beroleh uluran tangan kasih dari siapa-siapa, sebab dia juga tidak memiliki hak apa-apa. Tetapi terpujilah Tuhan ! Pejabat dan perwira itu yang memiliki iman percaya, rendah hati serta berjiwa satria, namun dampaknya dapat dirasakan dan dinikmati oleh orang kecil, menderita dan terpinggirkan.
          Satu lagi. Injil keselamatan itu ternyata inklusif dan universal. Kristus adalah keselamatan bagi semua. Kuasa kesembuhanNya berlaku untuk semua. Tidak terbatas oleh jarak geografis, ruang maupun waktu. Di mana ada Yesus serta iman percaya, di situ ada kesembuhan dan kredibilitas. Di mana ada kredibilitas, di situ ada iman percaya dan kesembuhan. Semakin kredibel para orangtua, luka keluarga akan terobati. Semakin banyak pejabat gereja dan negara yang kredibel, maka warga dan rakyat kitapun akan beroleh kesembuhan yang sempurna. Maka, dicari warga gereja dan pejabat negara yang kredibel: percaya dan terpercaya. Amin !  
                                     

www.bannersiburian.blogspot.com