Jumat, 25 Februari 2011

MARI BERJUBILEUM


Jubileum memiliki hakekat dan makna yang sejajar dengan sabbat (Kel 20:8-11). Kata sabbat berasal dari kata Ibrani syabbat, dari akar kata syavat: artinya ‘melepaskan’. Sabbat dipahami sebagai hari pembebasan yang mengacu kepada pengalaman bangsa Israel keluar dari perbudakan.


Dalam Keluaran 16:21-30 sabbat dikaitkan dengan pemberian “manna”, sebagai anugerah Tuhan (ay 29), yang diperuntukkan bagi istirahat dan demi kepentingan umat (ay 30). Sabbat adalah milik Tuhan (Kel 20:8-11,14). Karena itu, dia harus diindahkan sesuai dengan perintahNya (Bil 15:32-36).


Israel diperintahkan untuk mengindahkan sabbat, agar hamba laki-laki dan perempuan dapat beristirahat seperti mereka. Di sini aspek dan nilai kemanusiaan amat ditekankan. Sabbat diadakan adalah untuk dan demi manusia.


Mengacu kepada Imamat 25 (khususnya ayat 4-5) sabbat juga berkaitan dengan tanah perjanjian. Tanah harus mendapat perhentian (arets syabbat). Sesudah enam tahun masa menanam, pemeliharaan dan panen, tanah dibiarkan untuk tidak ditanami selama satu tahun.


Tanaman yang tumbuh di sana diperuntukkan bagi orang miskin dan hewan (Kel 23:11; Ul 15:2-18). Untuk menenangkan kekuatiran umat Israel akan kekurangan, Tuhan menjamin, bahwa tahun ke-enam akan disediakan cukup tuaian buat tiga tahun (Im 25:20ff).


Puncak tahun sabbat itu disebut tahun jubileum, yakni kelipatan 25 tahun, terutama yang berpuncak pada tahun ke-50 saat tahun berjalan. Kini, kita perlu memiliki kesamaan persepsi dasar akan arah jubileum 150 tahun HKBP serta penerapannya dalam hidup bergereja dan hidup sosial. 


Tahun Pembebasan Yang Memerdekakan

Jubileum memuat makna pembebasan dan pelepasan. Perbudakan harus dihentikan. Gereja sejatinya menerapkan muatan pembebasan itu, misalnya dengan kesungguhan membebaskan warga jemaat dari kungkungan RPP. Tentu diawali dengan pembinaan khusus, sebagai salah satu bentuk  manna dalam hidup bergereja.


Hamba laki-laki dan perempuan Israel diperintahkan untuk mengindahkan sabbat dengan waktu khusus istirahat. Ini perlu diperjuangkan, misalnya agar setiap pekerja gereja diberi waktu khusus untuk dapat beristirahat. Gereja juga harus menyuarakan suara nabiahnya, agar setiap instansi dan institusi yang ada (negeri atau swasta), memberi peluang dan kemerdekaan kepada warga jemaat untuk beribadah kepada Tuhan, sebagai hak yang harus dibayar tunai.


Israel memakai terompet dengan bahan dasar tanduk domba jantan untuk merayakan tahun pembebasan itu. Pada pesta itu, hak milik dikembalikan kepada pemilik asli. Hutang-hutang dinyatakan lunas. Orang yang menjadi budak akibat hutang harus dibebaskan. Jubileum menjadi momentum untuk aksi yang memerdekakan (Im 25:8ff).


Tahun Untuk Berbelas Kasihan

Dalam tahun jubileum ini sejatinya gereja harus tegas menunjukkan muatan berbelas kasihan (secara institusi/ lembaga), bahkan dari pribadi setiap warga gereja, dalam jabatan, pekerjaan, pangkat yang melekat dalam diri mereka. 

 

Bangsa Israel pernah menjadi budak di Mesir. Kemudian mereka dibebaskan. Maka Israel harus menerapkan perilaku dan tindakan berbelas-kasihan terhadap orang-orang yang berada di bawah kekuasaan mereka (apakah sebagai budak atau pekerja misalnya). Yesus adalah Tuhan atas sabbat (Mrk 2:28). Bagi Yesus, sabbat yang sesungguhnya adalah demi manusia (Luk 4:16), bukan perayaan seremonial semata. Muatan sabbat adalah aksi dan tindakan untuk berbelas-kasihan (Yoh 5:1-18; Luk 13:10-17; 14:1-6).


Kita juga harus menunjukkan muatan pelayanan berbelas kasihan kepada pelayan gereja, pekerja bahkan para pembantu dalam rumah-tangga kita. Para pengusaha, pejabat, pemilik modal atau majikan, mereka semua seharusnya menunjukkan aksi bermurah hati kepada para karyawan serta orang-orang miskin  yang ada di lingkungan mereka.

 

Jubileum ini juga sekaligus menjadi momen penyadaran, bahwa manusia bukanlah pemilik tanah. Manusia hanya “mempunyainya” dalam kepercayaan atas Tuhan (Im 25:23). Orang Israel juga harus ingat dan sadar bahwa mereka tidak pernah memiliki apapun berdasarkan warisan. Mereka dahulu adalah budak di Mesir (Ul 15:15). Jubileum sekaligus menjadi tahun untuk berbelas-kasihan. 

 

 ‘Terompet’ Murah Hati

 

Kata jubileum itu sendiri berakar dari kata Ibrani yubilium, dari kata dasar yovel yang berarti ‘domba jantan’ dan ‘berterompet’ dengan musik dari  ‘tanduk domba jantan’ untuk merayakan tahun sukacita, tahun pembebasan.


Kita perlu mengaplikasikan bentuk “terompet tanduk domba jantan ini” masa kini, misalnya kembali kepada musik alami, atau memberi perhatian khusus kepada sound system yang sering “tertekan batin” di gereja. Musik dan sound system yang baik, tentu dapat mempengaruhi tingkat penerimaan warga jemaat dalam hidup beribadah. Molo batuk-batukon do mik i, ruas i pe mongkol-ongkol ma.

 

Kebesaran HKBP terlalu sering tidak diimbangi dengan fasilitas penunjang dalam gereja, semisal alat musik dan sound system yang lebih baik. Fasilitas penunjang lain, sejatinya harus membuat kita semua dapat bersukacita. Design rumah pelayanpun seyogyanya dapat membuat mereka melayani dengan penuh sukacita, dan dapat mempersiapkan khotbah (misalnya) dengan lebih baik.  

 

Kita bukan pemilik atas diri kita. Kita hanya “wadah Tuhan” untuk mengelola milikNya demi kemuliaanNya. Harta milik harus kita pakai dan persembahkan untuk menunjukkan kemurahan hati dalam gereja maupun dalam kehidupan sosial. Mengapa ? Tuhanlah pemilik atas segala yang ada pada kita. God is the owner of everything you have.     

 

Saat kita berjubileum, apakah itu jubileum jabatan pelayanan, atau jubileum pernikahan, atau pesta jubileum gereja, terutama jubileum 150 tahun HKBP, semua itu sejatinya harus diisi dengan muatan aksi yang membebaskan, muatan untuk bersyukur dan bermurah hati serta membawa sukacita di sekeliling kita. Mari berjubileum ! 

 

Pdt Banner Siburian, MTh

banner_siburian@yahoo.com

Jumat, 04 Februari 2011

PEJABAT YANG KREDIBEL


Renungan Minggu IV Epiphanias, 06 Pebruari 2011: 


 

(Pdt Banner Siburian, MTh)


                  
          Kredibilitas secara sederhana berarti dapat dipercaya. Maksudnya, perkataan seseorang itu dapat dipegang. Tindakannya membesarkan hati banyak orang. Perangainya sehari-hari pun patut dijadikan sebagai teladan. Jabatan atau pangkat yang melekat dalam dirinyapun, dipahami dan disandang serta dilakoninya sebagai amanat ilahi yang harus diemban demi kemaslahatan semua orang. Orang yang demikian disebut sebagai orang yang kredibel. Dia percaya kepada Tuhan. Dia dapat dipercaya. Dia menjadi orang terpercaya. Dia juga menjadi orang kepercayaan. 

          Kredibilitas seperti itulah yang dilakoni seorang perwira Roma dalam teks Matius 8:5-13 ini. Sebagai seorang perwira tinggi, tentu sudah biasa baginya memberi perintah untuk tugas-tugas kedinasan, tanpa ada bantahan. Pastilah dia juga seorang manager yang handal dalam menangani masalah-masalah besar. Pangkat dan jabatan yang dia sandang membuat dia memiliki kuasa yang besar untuk mengatur setiap orang di jajaran dan struktur yang dia pimpin. Di manakah letak kredibiltasnya ?
                                     
          Pertama: Dia adalah seorang perwira tinggi dan pejabat yang percaya kepada kuasa Tuhan Yesus. Percayanya juga bukan sembarang. Simaklah ayat 8. Dia seorang yang percaya dengan rendah hati. Dia sangat sadar, meski dia seorang yang terhormat, pejabat dan perwira tinggi, namun berhadapan dengan Yesus, dia merasa tidak ada apa-apanya. Bintang yang melekat di bahunya tidak menutup matanya untuk mempercayai Yesus Kristus. Bukan sembarang percaya. Sebab, imannya sangat kualitatif (ayat 10), bahkan melebihi kualitas iman yang terdapat di antara orang Israel sekalipun. Iman percayanya juga murni dan bulat; bukan setengah hati. Buktinya, saat Yesus mengatakan: “Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya”, maka saat itu juga sembuhlah hambanya itu (ayat 13).

          Kedua: Dia adalah seorang perwira yang rendah hati serta berjiwa satria untuk berkorban. Jabatan yang melekat dalam dirinya tidak membuatnya congkak dan tinggi hati. Kehormatannya sebagai seorang perwira dan pejabat penting tidak membuatnya sungkan mengemis minta tolong kepada Yesus (simak ayat 5). Biasanya, orang lainlah yang datang menyembah-nyembah kepadanya minta tolong. Tetapi di hadapan Yesus, dia hadir sebagai peminta-minta, tanpa rasa malu, tanpa kehilangan muka mengemis, apalagi yang diminta itu adalah untuk hambanya yang sedang sakit lumpuh. Padahal saat itu, seorang hamba atau budak, dianggap setara dengan hewan, benda mati atau sebagai ‘bahan’ komoditi  belaka saja. 

          Saudaraku yang kekasih ! Alangkah mahalnya sebuah kredibilitas. Bayangkan: Hamba yang sakit lumpuh itu beroleh kesembuhan, meski dalam hati, pastilah dia sedang menantikan kapan detik ajalnya tiba. Dia tidak berharap banyak, apalagi dari majikannya, mengingat statusnya sebagai budak, sudah lazim baginya tidak beroleh uluran tangan kasih dari siapa-siapa, sebab dia juga tidak memiliki hak apa-apa. Tetapi terpujilah Tuhan ! Pejabat dan perwira itu yang memiliki iman percaya, rendah hati serta berjiwa satria, namun dampaknya dapat dirasakan dan dinikmati oleh orang kecil, menderita dan terpinggirkan.
          Satu lagi. Injil keselamatan itu ternyata inklusif dan universal. Kristus adalah keselamatan bagi semua. Kuasa kesembuhanNya berlaku untuk semua. Tidak terbatas oleh jarak geografis, ruang maupun waktu. Di mana ada Yesus serta iman percaya, di situ ada kesembuhan dan kredibilitas. Di mana ada kredibilitas, di situ ada iman percaya dan kesembuhan. Semakin kredibel para orangtua, luka keluarga akan terobati. Semakin banyak pejabat gereja dan negara yang kredibel, maka warga dan rakyat kitapun akan beroleh kesembuhan yang sempurna. Maka, dicari warga gereja dan pejabat negara yang kredibel: percaya dan terpercaya. Amin !  
                                     

www.bannersiburian.blogspot.com