Jumat, 19 November 2010

MUSAFIR MASUK KEMAH SORGAWI


Renungan Minggu Akhir Tahun Gerejawi, 21 November 2010: 


          
Saudaraku yang kekasih ! Segala sesuatu pasti akan berakhir. Hidup kita akan berakhir. Jabatan dan pangkat kita akan berakhir. Kekayaan dan kehormatan kitapun akan berlalu. Kuasa dan kekuatan kita juga akan berakhir. Wajah cantik dan ganteng pun akan berlalu jua. Duka dan suka akan berakhir pula. Tak ada yang kekal dari kita, kecuali Yesus Kristus, yang sudah ada kemarin, hari ini dan esok.  Saudaraku ! Firman ini sedikitnya menyerukan kita akan tiga hal (2 Kor 5:1-10):

          Pertama: Dalam daging, tetapi Hidup dengan Beriman (ay 1-5) ! Manusia, pada hakekatnya terdiri atas tubuh, jiwa dan roh. Tubuh, dalam bahasa Yunani disebut soma,  jiwa disebut psukhe dan roh disebut dengan pneuma. Psukhe itu sama dengan nefesy dalam Perjanjian Lama, pneuma sama dengan ruakh. Manusia sejati sesungguhnya adalah jiwa (psukhe atau nefesy). Sedangkan tubuh (soma) hanyalah tempat kediaman kita yang sementara dan fana. Karena sementara, maka suatu waktu dia akan dibongkar (ay 1). Tubuh ini akan berlalu. Dia akan kembali menjadi tanah yang membusuk, tempat cacing atau ulat mencari makan. Namun meski fana, kita harus hidup dalam iman, agar meski secara lahiriah tubuh kita semakin keriput dan rusak, tetapi secara batin kita harus semakin baru (2 Kor 4:16). Mata kita tidak boleh tertuju untuk yang kelihatan dan hanya tahan sementara, melainkan kepada yang tidak kelihatan tetapi kekal selama-lamanya (2 Kor 4:18).   
                                     
          Kedua: Berjalan pasti menuju Kemah Sorgawi (ay 6-9) !  Kita harus lepas dari tubuh yang fana dan sementara ini, agar kita dapat tinggal bersama Tuhan (ay 8). Setelah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan tempat kediaman yang kekal di sorga, yang tidak terbuat oleh tangan manusia (ay 1 b). Kemah duniawi itu mengalami banyak sengsara, derita, sakit penyakit, penuh dengan keluhan dan ‘ATM’ duniawi (Ancaman, Tantangan dan Maut). Sebaliknya, kemah sorgawi itu sifatnya abadi dan kekal. Di sana tidak ada lagi sengsara dan tangis (Why 21:1-4). Bagai musafir, kita harus melangkah pasti dari kemah duniawi kepada kediaman sorgawi bersama Allah Bapa di sorga.  

          Ketiga: Siap sedia memberi pertanggungan-jawab kepada Tuhan (ay 10) !  Selama masih diperkenankan Tuhan hidup dalam kemah sementara ini, janganlah kita jemu-jemu berbuat baik (Gal 6:9-10). Tubuh kita yang akan dibongkar ini adalah kesempatan (‘kairos’) untuk berkarya dan bekerja melayani Tuhan. Tak seorangpun akan luput dari pertanggunganjawab selama hidup. Kita harus siap sedia untuk itu (1 Pet 3:15). Tak seorangpun yang dapat menghindarinya, sebab tak ada yang tersembunyi di hadapanNya (Mzm 139). Kita semua dalam posisi sejajar untuk dihakimi. Tak seorangpun di antara kita patut untuk menghakimi satu sama lain. Kita semua, siapapun kita, apapun jabatan dan pekerjaan kita, terhormat atau tidak, kaya dan miskin, semua akan memberi pertanggunganjawab di hadapanNya. Maka: Jadilah manusia bertanggungjawab; bukan berjawab-tanggung. Amin !  

 

Pdt Banner  Siburian, MTh

www.bannersiburian.blogspot.com

Jumat, 12 November 2010

Renungan Minggu 14 Nov 2010

Kiat Agar Hidup Jadi Bermakna !
(Pengkhotbah 11:1-6)

Saudaraku yang kekasih ! Pesan umum kita Pengkhotbah adalah bahwa segala hidup di bawah langit ialah kesia-siaan. Hidup manusia tidak sia-sia, hanya bila mereka memiliki hubungan yang mesra dengan Tuhan. Hidup tidak sia-sia, bila manusia hidup di dalam kepercayaan dan dalam pengharapan akan Allah, yang memberi pegangan yang pasti dalam hidup serta menjadikan hidup jadi bermakna.

Setiap orang tentu tidak mendambakan hidupnya berjalan tanpa makna. Siapapun orangnya, pasti mendambakan agar hidupnya berarti dan bermanfaat. Memang, kualitas hidup manusia diukur dari seberapa jauh hidupnya dapat memberi makna. Bila tidak, hidup kita hanyalah sekedar pajangan saja. Saudaraku ! Firman Tuhan melalui teks ini memberi kita tiga kiat agar hidup ini jadi bermakna.

Pertama: Hendaklah kamu menjadi orang yang murah hati (ay 1-2) ! Firman ini menyerukan bahwa hidup ini dapat jadi bermakna, bila kita menjadi orang yang bermurah hati. Sebaliknya, bila kita tidak bermurah hati, kita telah secara sengaja menjadikan hidup ini sia-sia. Ibarat kita melempar padi ke dalam air yang banjir, kelihatannya padi itu terbuang sia-sia terbawa arus. Namun, setelah banjir usai, tanah mulai mengering, padi tadi tumbuh menjadi benih. Demikianlah kita bermurah hati kepada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Berilah selagi ada kesempatan. Perbuatan kasih, tidak akan pernah lenyap dan sia-sia.

Kedua: Percayakan hidupmu di dalam pengaturan Tuhan (ay 3, 5) ! Mengandalkan kekuatan dan pengetahuan diri sendiri, pada akhirnya membuat hidup kita hilang makna. Tuhan memang memberi kita pikiran untuk berpikir sebatas kemampuan kita. Kita sadar bahwa kita memang terbatas. Tuhanlah Allah yang maha tahu (‘omni science’). Maka itu, kita harus percaya hidup dan masa depan kita ada di tanganNya. Laksana awan yang mengandung air, manusia tak berkuasa menghambat turunnya hujan. Kita tak dapat memahami sepenuhnya rahasia Allah. Siapakah di antara kita yang sanggup memahami bagaimana tulang-tulang bertumbuh di rahim ibu ? Hidup jadi bermakna, mana kala kita setia mengakui kemahatahuan dan kemahakuasaan Allah, sekaligus mempercayakan masa depan kita kepadaNya.

Ketiga: Jangan menyianyiakan kesempatan menaburkan yang baik (ay 4,6) ! Kita memang dapat mendengar suara angin. Tetapi kita tidak tahu dari mana arah datangnya dan di mana dia berhenti. Jangan sampai kita lalai menentukan dari mana arah angin dan ke mana perginya, sehingga waktu untuk berbuat menjadi terlewatkan tanpa arti. Maka, mumpung masih ada waktu, taburkanlah yang baik tanpa henti, pagi atau malam (ay 6). Isilah masa mudamu, sebelum masa tuamu tiba. Isi masa sehatmu sebelum masa sakitmu tiba. Isi masa produktifmu, sebelum masa sia-siamu mampir. Isi masa aktif sebelum masa pensiun tiba. Niscaya, hidup menjadi penuh arti. Maka itu, jadikanlah hidupmu bermakna. Jangan sampai sia-sia. Amin !

Pdt Banner Siburian, MTh
www.bannersiburian.blogspot.com

Kamis, 11 November 2010

SEJARAH SINGKAT DAN HUT KE-44 HKBP SUKAJADI RIAU

I. PENDAHULUAN

Sejarah gereja, dapat menjadi cermin dan refleksi bagi kita untuk melihat bagaimana dinamika kehidupan berjemaat dalam bersekutu, bersaksi dan berdiakonia. Sejarah gereja juga dapat menjadi ilham bagi kita untuk melihat bagaimana semangat mereka dalam hal membangun sekaligus semangat gotong-royong dalam memenuhi hukum Kristus. Memang Alkitab menyerukan agar kita anggota jemaatnya hidup dengan bertolong-tolongan dalam hal menanggung beban bersama (Galatia 6:2).
Dalam sebuah penulisan sejarah gereja, salah satu hal yang utama dipaparkan adalah bagaimana realitas yang sesungguhnya dialami dalam dinamika perjalanan kehidupan berjemaat. Di dalamnya mungkin ada pengalaman pahit dan manis, suka dan duka. Semua itu sejatinya harus dituliskan dalam sejarah.
Kita tidak perlu ‘merekayasa’ seolah-olah sejarah yang dituliskan hanyalah pengalaman yang baik-baik saja. Juga tidak baik menuliskan sejarah dengan pengalaman yang buruk saja. Tetapi, baik atau buruk, di situ kita hendak melihat bagaimana Tuhan bertindak dan berkarya untuk kelangsungan kerajaanNya di dunia ini. Kita perlu belajar dari yang baik, agar ke depan, kita dapat menata gereja dengan lebih baik. Kita juga perlu belajar dari perjalanan sejarah gereja yang buruk, agar kita dapat belajar mensiasatinya dengan lebih kritis. Tujuannya, tentu saja, agar pengalaman pahit pada masa lalu tidak terulang lagi ke depan.
Dengan demikian, kita akan dapat bersukacita dalam lika-liku kehidupan bergereja. Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita (Mazmur 126:3). Kita juga dapat bersaksi ke depan, sebagaimana kesaksian pemazmur: Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya (Mazmur 118:24).

II. PERSIAPAN MENJADI HURIA

1. Cikal-bakal Huria dan Keadaan Awal

Daerah Sukajadi ini awalnya disebut “Sukajadi Baru”. Sarana lalu-lintas dan angkutan umum masih sangat sederhana. Angkutan pada waktu itu umumnya adalah Kereta Sado atau Bendi. Jalannya masih tanah yang sering berlumpur. Saat itu, warga jemaat di Sukajadi Baru beribadah ke HKBP Pekanbaru. Namun, kebaktian lingkungan telah terselenggara oleh Sintua lingkungan, yakni St. H. Sipahutar. Saat itu, sudah ada koor khusus PNKS (Persatuan Naposobulung Kristen Sukajadi) dan Koor Ama lingkungan.
Pada tanggal 4 November 1964, sebanyak 44 orang orangtua warga di lingkungan Sukajadi berkumpul. Mereka mendiskusikan kemungkinan mendirikan gereja di Sukajadi. Sepuluh hari kemudian, tepatnya 14 November 1964, mereka sepakat membentuk panitia pembangunan gereja. Ketua panitia: P. Hutapea, Sekretaris M. Sianturi dan Bendahara B. Doloksaribu. Saat itu, pendeta di Pekanbaru adalah Ds. R.M. Siahaan, yang pindah ke Ressort Pangururan 1 Maret 1965. Pdt A.B. Simanjuntak diutus Kantor Pusat meneruskan pelayanan Ds. R.M. Siahaan.

Saat itu, pertapakan gereja belum ada. Namun beberapa orang dari antara mereka telah menyumbang untuk rencana pembangunan gereja tersebut. P. Hutapea sendiri menyumbang 2020 keping batu bata, M. Sitompul menyumbang 16 tiang dan A. Purba menyediakan pengangkutan. Ini menjadi salah satu ciri khusus cikal bakal gereja HKBP Sukajadi. Pertapakan belum ada, tetapi sumbangan sudah berjalan. Semangat ini, tentu saja sangat relevan untuk kita bangkitkan kembali sekarang dan ke depan.

2. Mencari Lahan untuk Pertapakan Gereja

Panitia pembangunan gereja sepakat menghubungi instansi pemerintah terkait di Kodya Pekanbaru. Tujuan pokok adalah untuk memperoleh pertapakan gereja. Puji Tuhan ! Ternyata Bapak Penghulu Pekanbaru Selatan, yakni Bapak Misran Diran, telah merekomendasikan permohonan panitia pembangunan gereja HKBP Sukajadi kepada Kepala Kecamatan Senapelan, Kopra Pekanbaru, tertanggal 28 April 1965.

Satu bulan kemudian, St. H. Sipahutar dipindahkan dari Pengadilan Negeri Pekanbaru ke Pengadilan Negeri Rantau Parapat. Sebagai konsekuensi atas perpindahan itu, pada bulan Mei 1965 dipilihlah 2 orang calon penatua untuk menggantikan dan meneruskan tugas pelayanan beliau. Kedua calon penatua itu adalah: J.L. Tobing dan S.M.W. Simbolon.

Lima bulan kemudian, tepatnya 23 Oktober 1965, Camat Sukajadi Bapak R. Sunyoto menyurati Walikotamadya Pekanbaru. Isinya adalah menyetujui rencana pertapakan gereja Sukajadi, sesuai dengan usulan Penghulu Pekanbaru. Tidak lama kemudian, tepatnya tanggal 2 November 1965, Kepala Pembangunan Chusus Kota Pekanbaru (PCKP), Ir. A. Panjaitan juga menyurati Walikotamadya Pekanbaru, yang isinya juga menyetujui usulan Penghulu Pekanbaru Selatan tersebut.

Pada awal bulan Oktober 1965, secara lisan memang Walikota Pekanbaru telah memberitahu bapak P. Hutapea tentang persetujuannya memberikan tanah pertapakan untuk gereja. Dengan penuh sukacita, tanggal 16 Oktober 1965 warga jemaat bergotong-royong mencari kayu bulat ke hutan di Km 18 arah Bangkinang (Danau Bengkuang), dengan Truck BM 7781 milik bapak A. Puba. Tentu, setelah memperoleh izin dari kepolisian.

Alhasil, pada tanggal 6 Pebruari 1966, terbitlah surat izin sementara dari Walikotamadya Pekanbaru dengan menunjuk tanah pertapakan untuk gereja HKBP Sukajadi. Dalam surat izin sementara yang dikeluarkan Walikotamadya Pekanbaru, tanah yang ditunjuk untuk pertapakan gereja HKBP Sukajadi terletak di Jalan Delima Sukajadi (Jalan Harimau), yang berasal dari interdep yaitu bahagian tanah komplex penampungan Sukajadi.

3. Pembangunan Gereja Darurat

Setelah kayu bulat tersedia, kembali warga jemaat gotong-royong untuk mendirikan “Gereja Darurat”. Atapnya terbuat dari atap ‘rumbia’ (daun-daunan) dengan ukuran 7 x 12 meter. Tetapi gereja darurat ini sudah segera memiliki lonceng gereja, yang disumbangkan oleh M. Sitompul, seorang pegawai PT. Caltex Minas, anggota jemaat HKBP Sukajadi.

Gereja darurat ini pertama sekali digunakan sebagai tempat beribadah pada tanggal 24 Juli 1966, dengan pelayanan dari HKBP Pekanbaru. Kemudian hari, agar gereja ini dapat menjadi persiapan huria, diangkatlah 6 orang calon penatua, yakni: J. Siregar, M. Sitompul, P. Siregar, P. Tambunan, M. Togatorop dan B. Hutagalung.

Panitia pembangunan dipilih kembali pada tanggal 14 Agustus 1966. Ketua adalah: P. Hutapea, dibantu oleh S.M. Gurning dan J.C. Hutabarat. Sekretaris adalah: M. Togatorop dan K. Sirait. Bendahara adalah A. Purba dan D. Siregar, dan dilengkapi dengan seksi-seksi dalam kepanitiaan.

III. PERESMIAN MENJADI HURIA NA GOK

1. Persiapan dan Peresmian Huria

Pada tanggal 11 September 1966, pendeta HKBP Ressort Pekanbaru waktu itu, Pdt. A.B. Simanjuntak memimpin rapat majelis di HKBP Sukajadi. Dari 8 orang calon penatua, terpilihlah J.L. Tobing sebagai pejabat Guru Huria. Penahbisan sintua J.L. Tobing dilakukan pada tanggal 18 September 1966, sekaligus peresmian HKBP Sukajadi menjadi huria na gok, sebagai satu jemaat (“pagaran”) dari HKBP Ressort Pekanbaru. Tanggal inilah yang sekaligus menjadi hari ulang tahun HKBP Sukajadi. St. J.L. Tobing menjadi pejabat Guru Huria yang pertama.

Penetapan tanggal ulang tahun ini, kemudian disepakati ulang pada rapat Majelis HKBP Sukajadi pada awal Pebruari 1991, di saat gereja ini melakukan Jubileum ke-25 tahun.

Selang 4 bulan setelah peresmian huria tersebut, St. J.L. Tobing menerima tugas belajar dari pemerintah ke Yogyakarta. Maka tanggal 15 Januari 1967, Majelis HKBP Sukajadi melakukan rapat untuk menggantikan St. J.L. Tobing. Dan yang terpilih menggantikan beliau adalah St. P. Tambunan sebagai pejabat Guru Huria yang kedua. Saat itu, beliau belum ditahbiskan sebagai penatua. Maka pada tanggal 22 Januari 1967, P. Tambunan bersama 6 orang calon penatua lainnya ditahbiskan. Saat penahbisan itulah pula St. P. Tambunan ditabalkan sebagai pejabat Guru Huria.

2. Pentingnya pelurusan sejarah gereja

Sebetulnya kapan waktu yang tepat tanggal lahir dari gereja HKBP Sukajadi ini ? Dalam buku panduan kita (2010), nampaknya tanggal lahir gereja ditentukan pada tanggal 17 Juli dan disebutkan bahwa gereja diompoi tanggal 3 November 1985.

Setelah saya amati, tanggal lahir gereja ini dihubungkan dengan pangompoion gereja HKBP Sukajadi. Itupun kurang tepat. Sebab pangompoion gereja ini diselenggarakan pada 16 Agustus 1970 (sesuai informasi sejarah dari Buku Jubileum 25 tahun HKBP Sukajadi). Lalu, pemugaran gereja dilakukan pada tanggal 3 November 1985 sekaligus peresmian HKBP Ressort Sukajadi. Pangompoion dipimpin oleh Ephorus Ds. T.S. Sihombing dengan Sekjen Ds. G.H.M. Siahaan. Sementara pesta pemugaran sekaligus peresmian ressort dipimpin oleh Sekjen Ds. P.M. Sihombing.

Ulang tahun HKBP Sukajadi disesuaikan dengan tanggal yang mana ? Nampaknya kita perlu meluruskan sejarah. Tanggal 17 Juli, perlu kita kaji ulang. Sebab, berdirinya HKBP Sukajadi (sesuai Jubileum 25 tahun, hl 6), justru disebutkan adalah pada tanggal 18 September 1966, bertepatan dengan penahbisan pertama penatua (St. J.L. Tobing). Dan majelis gereja HKBP Sukajadi pada rapat awal tahun (Pebruari 1991), juga telah menetapkan tanggal 18 September 1966 sebagai tanggal lahir HKBP Sukajadi. Itu berarti, kemarin, 18 September 2010, genaplah HKBP Sukajadi ini 44 tahun (yang kita rayakan hari ini).

Pokok Pikiran: Kita perlu menyelenggarakan sebuah diskusi internal HKBP Sukajadi atau Seminar khusus untuk mencoba mengetengahkan Sejarah singkat HKBP Sukajadi serta peran HKBP Sukajadi ke depan. Di situ diharapkan ada kesepakatan serta penegasan ulang akan tanggal lahir HKBP Sukajadi. Perlu juga mengundang tokoh-tokoh (founding father) HKBP Sukajadi yang masih hidup pada masa-masa awal kelahiran HKBP Sukajadi.

3. Membangun Gereja Semi Permanen

“Gereja darurat” sungguh masih sangat sederhana. Anggota jemaat mendambakan pembangunan gereja semi permanen. Pada tanggal 23 Januari 1967 (Senin), penggalian fundasi gereja semi permanen dilakukan, setelah dimulai dengan kebaktian singkat. Fundasi gereja digali dengan ukuran 10 x 24 meter, tetapi gereja darurat tetap ada di dalamnya, sehingga sambil pembangunan berjalan, ibadah juga tidak terganggu.

Ketua panitia pelaksana saat itu adalah H. Panjaitan. Beliau menyiapkan gambar, setelah itu mencari pemborongnya. Lalu O. Panjaitan menyanggupi pembangunan gereja semi permanen di luar fundasi dengan harga yang ditentukan panitia. O Panjaitan ditentukan sekaligus menjadi pelaksana serta pemimpin teknik pembangunan gereja semi permanen. Gereja semi permanen itu terbuat dari kayu Kulim. Maka tanggal 4 Juli 1967, dilakukanlah mendirikan rangka (“paraithon”) gereja semi permanen.

Atapnya gereja semi permanen ini diperoleh dari hasil gotong-royong anggota jemaat. Semua anggota jemaat dibebankan untuk menyediakan masing-masing 5 lembar seng. Waktu itu, tanggungan ini sudah cukup berat, meskipun pada akhirnya dapat dibayar dengan cara mengangsur beberapa tahap. Tetapi gereja ini masih berlantai tanah dan bangku yang serba darurat.

Pada suatu pesta pembangunan, Tuhan menggerakkan seorang dermawan untuk menghadiri pesta pembangunan ini. Bapak Ir. A. Panjaitan sebagai kepala PCKP Pekanbaru waktu itu, mengajak Musa Panjaitan, seorang pengusaha dari Medan untuk ikut memberi sumbangan dengan manortor dan lelang. Bahan lelang sudah habis. Yang ada hanyalah Paper Cup (cangkir kertas), namun itu juga dilelang Musa Panjaitan seharga Rp. 40.000,- (waktu itu harga beras adalah Rp. 2 /Kg).

4. Pangompoion dan Peresmian Ressort Sukajadi

Pada saat pembangunan gereja berjalan, bapak P. Hutapea pindah ke Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang, pada pertengahan tahun 1968. Akhirnya, tanggal 16 September 1970, gereja tersebut diompoi Ompui Ephorus HKBP Ds. T.S. Sihombing bersama Sekjen Ds. G.H.M. Siahaan. Ada yang unik di sini, sebab satu minggu kemudian (23 Agustus 1970), barulah juga HKBP Pekanbaru diompoi. Ternyata HKBP Sukajadi lebih dahulu diompoi dari pada HKBP Pekanbaru sendiri. Peresmian Ressort Sukajadi sendiri diselenggarakan pada tanggal 3 November 1985, dengan gereja yang sudah permanen, yang diresmikan oleh Sekjen HKBP Ds. P.M. Sihombing.

“Gereja darurat” sungguh masih sangat sederhana. Anggota jemaat mendambakan pembangunan gereja semi permanen. Pada tanggal 23 Januari 1967 (Senin), penggalian fundasi gereja semi permanen dilakukan, setelah dimulai dengan kebaktian singkat. Fundasi gereja digali dengan ukuran 10 x 24 meter, tetapi gereja darurat tetap ada di dalamnya, sehingga sambil pembangunan berjalan, ibadah juga tidak terganggu.

IV. REFLEKSI DAN BEBERAPA CIRI KHUSUS AWAL HKBP SUKAJADI

1. Memberi dalam Pengharapan

Dalam sejarah awal berdirinya HKBP Sukajadi, ternyata anggota jemaat saat itu memiliki semangat dan pengharapan yang tinggi dalam hal memberi. Di saat pertapakan gereja belum ada, namun beberapa orang anggota jemaat telah menyumbang untuk rencana pembangunan gereja (misalnya P. Hutapea menyumbang 2020 keping batu bata, M. Sitompul menyumbang 16 tiang dan A. Purba menyediakan pengangkutan).

Ini menjadi salah satu ciri khusus pertama cikal bakal gereja HKBP Sukajadi di waktu lalu. Pertapakan belum ada, tetapi sumbangan sudah berjalan. Semangat MEMBERI DALAM PENGHARAPAN ini, tentu sangat relevan untuk kita bangkitkan kembali sekarang maupun ke depan. Rencana Renovasi Gereja Baru juga, kita yakini ada dalam rencana Tuhan. Mari kita bertanya: Masihkah karakter MEMBERI DALAM PENGHARAPAN itu tetap hidup di dalam hati kita kini ? Firman Tuhan berkata: Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita (2 Korintus 9:7).

2. Senang Bergotong-Royong

Ciri khusus kedua jemaat awal HKBP Sukajadi adalah hidup dengan senang bergotong-royong. Ringan sama dijingjing, berat sama dipikul. Misalnya, saat pertapakan tanah telah disetujui Walikota, maka segera warga jemaat bersukacita dan bergotong-royong mencari kayu bulat ke hutan di Km 18 arah Bangkinang, dengan Truck BM 7781 milik A. Puba. Anggota jemaat juga bergotong-royong untuk mendirikan “Gereja Darurat”, dengan atap ‘rumbia’ (daun-daunan), tetapi telah memiliki lonceng gereja (persembahan M. Sitompul).

Kemudian hari, atap gereja semi permanen juga diperoleh dari hasil gotong-royong anggota jemaat. Semua anggota jemaat dibebankan untuk menyediakan masing-masing 5 lembar seng. Waktu itu, tanggungan ini sudah cukup berat, tetapi dengan semangat MEMBERI DALAM PENGHARAPAN, akhirnya terpenuhi juga. Mari kita bertanya: Masihkah karakter SENANG BERGOTONG-ROYONG itu tetap hidup di dalam hati kita kini ? Firman Tuhan berkata: Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu ! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus (Galatia 6:2).

3. Hidup Dekat dan Mesra dengan Pemerintah

Ciri khusus ketiga jemaat awal HKBP Sukajadi adalah: Hidup dekat dan Mesra dengan Pemerintah. Dalam sejarah awalnya, ternyata HKBP Sukajadi tidak dapat dipisahkan dari kebaikan hati pemerintah. Penghulu Pekanbaru Selatan (Bapak Misran Diran), memberi rekomendasi pembangunan HKBP Sukajadi kepada Kepala Kecamatan Senapelan. Walikota Pekanbaru setuju memberikan tanah pertapakan untuk gereja.

Tanah dan lahan yang ada sekarang, ternyata (kalau tidak salah, kecuali ada perkembangan terakhir), merupakan pemberian hak pakai dari pemerintah. Kita belum memiliki SHM sampai sekarang. Kebaikan hati pemerintah ini juga nampak melalui partisipasi mereka dalam hal membantu pembangunan di bidang dana. Hubungan baik ini perlu dipelihara dan dihidupkan kembali, sebagai inspirasi kepada segenap warga jemaat, sekaligus menjadi “sebuah peringatan yang baik” untuk pemerintah yang sekarang. “Sinyal” ini sangat baik kita angkat kembali, agar ke depan, hubungan pemerintah dengan gereja tetap semakin terjaga.

Mari kita bertanya: Masihkah kemesraan itu tetap terpelihara ? Misalnya, kita setia mendoakan pemerintah dan turut dalam aksi donor darah dalam rangka mendukung kegiatan pemerintah. Firman Tuhan juga menyerukan kita: Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Yeremia 29:7). Saya jadi teringat akan sebuah lagu yang berjudul “Kemesraan”, yang mengisahkan indahnya kemesraan itu.

4. Pejabat dan Pendatang yang Partisipatif

Ciri khusus keempat jemaat awal HKBP Sukajadi adalah: Tingginya tingkat keterlibatan dan partisipasi jemaat yang pendatang dan pejabat kita yang bekerja di pemerintahan. Misalnya, St. H. Sipahutar, yang melayani ketika masih weijk Sukajadi Baru, dia adalah seorang hakim di Pengadilan Negeri Pekanbaru, yang kemudian pindah ke Rantau Parapat. St. J.L. Tobing (pejabat guru huria pertama), kemudian dipromosikan tugas belajar ke Yogyakarta. St. P. Tambunan (pejabat guru huria kedua), melayani di gereja sekaligus karyawan salah satu perusahaan swasta di Pekanbaru.


Bapak P. Hutapea adalah seorang Jaksa, yang kemudian pindah promosi ke Tanjung Pinang. Bapak M. Marpaung, adalah anggota Brimob, tetapi aktif melayani sebagai komisaris khusus di Brimob. Ir. A. Panjaitan sebagai Kepala Pembangunan Chusus Kota Pekanbaru (PCKP), menjalin koneksi yang baik dengan pemerintah sekaligus mencari dana dari para donateur dan pengusaha. Mari kita bertanya: Masih adakah hati yang terbuka untuk para Hakim atau Jaksa, pejabat pemerintah atau pengusaha maupun aparat keamanan sekarang ini, yang terbuka hatinya untuk aktif melayani di gereja bahkan menjadi seorang penatua, meski mungkin mereka tidak atau belum tinggal menetap di kota Pekanbaru ini ?

Kita semua (terutama saudara yang bekerja sebagai pejabat atau pengusaha, meski belum tentu tinggal menetap atau sementara di Pekanbaru ini) perlu senantiasa mengingat dan merenungkan Firman Tuhan kepada Abraham (sebagai seorang musafir) dan juga kepada kita semua. Tuhan berfirman: Aku akan memberkati engkau dan membuat namamu masyhur, sehingga engkau akan menjadi berkat (Alkitab BIS Kejadian 12:2b). Ke mana Abraham melangkah, atau tinggal sementara maupun menetap, di sana dia menjadi berkat bagi lingkungan dan penduduk setempat.

5. Mungkin masih ada ciri khusus awal gereja HKBP Sukajadi ini yang perlu kita gali. Tetapi saya melihat, ke empat hal ini amatlah baik, relevan dan indah untuk kita kembangkan dan wariskan. Tugas kita orangtualah terutama, beserta kita semua, untuk mencoba merenungkan dan mewariskannya kembali, terutama kepada para anak-cucu kita, generasi sekarang dan masa depan. Ke-empat ciri khusus awal ini, nampaknya amat penting untuk kita hidupkan kembali, terutama dalam rencana merenovasi ulang gereja HKBP Sukajadi ke depan. Renovasi itu, di samping tidak menghilangkan muatan sejarah pada awalnya, juga terutama mengakomodir kebutuhan-kebutuhan pelayanan di masa depan, termasuk sarana-sarana pendukung untuk pelayanan gereja yang dinamis.-

Tuhan memberkati kita semua.
Selamat Ulang Tahun HKBP Sukajadi yang ke-44.





Sebab segala sesuatu adalah dari Dia,
dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya (Roma 11:36).


Pdt Banner Siburian, MTh
banner_siburian@yahoo.com

Senin, 08 November 2010

AWAS: JANGAN SAMPAI TERKONTAMINASI !

( Pdt Banner Siburian, MTh )

Saudaraku ! Tuhan telah memenuhi janjiNya memberikan tanah Kanaan bagi bangsa Israel. Tanah itu, ternyata sebelumnya telah dihuni oleh bangsa-bangsa lain, seperti orang Amon, orang Filistin, orang Moab, orang Sidon dan orang Aram. Umumnya, mereka menyembah dewa Baal, khususnya dewi Asytoret, yang dikenal dengan dewi kemakmuran. Mereka mempercayai bahwa, tanah Kanaan itu amat subur sekaligus berlimpah susu dan madu, adalah sebagai berkah yang mereka terima dari dewi kemakmuran tersebut.

Sebelum memasuki tanah Kanaan, bangsa Israel pada dasarnya hidup secara nomaden. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Belum ada lahan pertanian yang subur untuk dijadikan sebagai tempat tinggal menetap, sekaligus sebagai lahan yang menjanjikan dalam mencari nafkah. Daerah gurun semuanya amat gersang. Karena itu amat wajar, bila mereka sungguh amat terkesima melihat suburnya tanah Kanaan tersebut.

Uniknya, mereka mendengar dari penduduk sekitar bahwa kesuburan itu adalah berkat dewi kesuburan. Kesuburan tanah merupakan akibat dari ketaatan mereka kepada dewa. Maka mereka mulai “main mata” dengan ilah-ilah penduduk setempat. Nampaknya, baal dan dewi Asytoret lebih patut untuk dipuji, ketimbang Tuhan Allah yang mereka rasa “tak berkuasa” memberi kemakmuran. Mereka pun berpaling dari Allah, lalu menyembah ilah-ilah bangsa Kanaan. Mereka mengikuti langgam kehidupan orang Kanaan. Mereka sudah lupa kepada Allah yang belum lama telah mengeluarkan mereka dari perbudakan, sekaligus menghantarkan mereka ke tanah Kanaan, tanah perjanjian. Wah !

Tindakan bangsa Israel itu ternyata membuat mereka semakin menderita. Lama-kelamaan mereka terhimpit oleh bangsa-bangsa Kanaan. Mereka menghadapi kesukaran besar. Mereka berseru kepada Tuhan. Tetapi Tuhan sudah murka. Tuhan menawarkan, biarlah mereka berpaling kepada ilah-ilah. Biarlah ilah itu pula yang menolong mereka dalam kesukaran. Bangsa Israel sadar, mereka telah berdosa. Ilah Kanaan tak sanggup menolong mereka. Mereka sadar, taat kepada Allah membuat mereka kuat. Sebaliknya, ingkar dari Allah membuat mereka lemah tak berdaya. Maka mereka berseru dengan sepenuh hati kepada Allah. Seruan itu ditindaklanjuti dengan sikap bertobat yang radikal, yakni membuang segala patung berhala, lalu datang menghadap dan menyembah Allah (ayat 16).

Bangsa Israel telah hidup terkontaminasi dengan langgam hidup orang Kanaan, namun Tuhan “tak dapat” menyembunyikan kasihNya atas mereka. Meski telah kehilangan jati-diri karena kemakmuran alam, namun Tuhan tetap menyambut mereka. Sekarang pun, Tuhan mengutus kita hidup di bumi lancang kuning ini, dalam realitas pluralitas yang berbeda, agama yang berbeda, suku, budaya, penyembahan dan iman yang berbeda. Kiatnya, tetaplah berseru kepada Tuhan. Tetapi awas, jangan sampai kita berdosa dengan terbawa arus untuk beralih iman. Singkatnya: Jangan sampai terkontaminasi. Sekali lagi: Jangan sampai terkontaminasi. Amin !