Selasa, 19 Oktober 2010

Berbeda, tetapi Menopang !

Renungan Minggu XV Trinitatis, 12 September 2010:

Berbeda, tetapi Saling Menopang !
(1 Kor 12:14-27)

Saudaraku yang kekasih ! Surat Paulus ke Korintus, ada kalanya disebut sebagai “Surat Air Mata”. Bukan karena surat itu ditulis di dekat sebuah mata air, tetapi surat itu ditulis sambil berlinang air mata. Air mata Paulus bercucuran, karena di jemaat Korintus muncul banyak persoalan. Kondisi saat itu cukup buruk dan parah. Jemaat pecah. Timotius memang ada di sana. Tetapi dia sudah kewalahan. Paulus berduka. Hatinya sakit. Rasul Paulus menangis sambil berurai air mata kesedihan.

Perpecahan itu terjadi, karena ada orang yang menganggap dirinya lebih hebat dan berwibawa. Demi posisi yang terhormat, menjelek-jelekkan pun dianggap lazim. Menyikat teman dianggap halal. Persoalan itu laksana rayap menggerogoti tiang. Meski tak nampak jelas, tapi bangunan akan roboh segera. Kesatuan gereja pun lemah dan terancam. Kesaling-tergantungan (interdependensi) antara satu jemaat dengan jemaat lain sebagai anggota tubuh Kristus mengalami gangguan serius. Ada orang yang hanya berpikir untuk diri sendiri, tanpa merasa dirinya menjadi bagian yang utuh dari satu kesatuan yang integratif dengan sesamanya.

Sebagai anak-anak Tuhan, kita tidak boleh menganggap diri lebih penting, serta memandang orang lain tidak berguna. Karena itulah Paulus memberi gambaran kepelbagaian organ tubuh, berbeda-beda fungsi dan tempat, tetapi saling menopang satu sama lain (Unity in Diversity). Kegunaan, tempat dan fungsi organ tubuh itu memang berbeda-beda. Namun mereka semua harus saling setia, bertanggungjawab untuk menjungjung kesatuan dalam hidup. Simaklah kembali lebih khusus ayat 15-18. Tuhan memilih dan menetapkan dalam jemaat tempat dan fungsi masing-masing, bukan supaya yang satu menonjol, sementara yang lain diabaikan. Gereja sejatinya tidak boleh berubah menjadi ajang kompetisi orang-orang yang ambisius.

Kunci rahasia untuk sukses mengelola perbedaan itu adalah KASIH. Dengan kasih, kita menjadi sadar bahwa kita memang berbeda, tetapi sekaligus juga sadar bahwa kita harus saling menopang. Bila kasih tidak ada di antara kita, maka kita adalah bagaikan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (1 Kor 13:1). Kasih ditandai dengan kerelaan kaki untuk menerima mata, tangan rela menerima telinga, mulut rela menerima hidung. Semua anggota tubuh Kristus harus mau saling menerima dan bekerjasama. Itulah salah satu pertanda riil gereja yang sehat.

Sekiranya semua anggota jemaat HKBP Sukajadi adalah pendeta, atau sintua saja, atau semua hanya warga jemaat saja, kita bakal akan susah besar. Kalau tubuh kita ini semua hanya kuping, nampaknya kita bukan manusia lagi. Atau bila bentuk dan tempat telinga berubah menjadi tangan, wah, manusia apa itu ya ? Atau sekiranya tempat hidung menjadi di bawah bibir, dan posisi lobang hidungnya terbalik ke atas, wah, saya sendiri tak sanggup membayangkan. Alangkah mulianya kita manusia dicipta Tuhan sedemikian rupa. Alangkah Tuhan dipermuliakan, bila kita masing-masing setia dalam peran kita sebagai jemaat di dalam gereja, tubuh Kristus yang hidup. Selain itu, air mata Paulus pun tak akan terus bercucuran lagi. Amin !


banner_siburian@yahoo.com

Jangan Munafik !


Renungan Minggu Trinitatis, 30  Mei 2010: 

Janganlah Hidupmu Munafik ! 

          Saudaraku yang kekasih ! Kita semua pasti membenci kemunafikan. Munafik itu “kue” apa, ya ? Lain di bibir lain di hati. Sok menjadi orang kudus dan suci, tetapi hatinya bak harimau. Kelihatannya amat alim, ternyata menyimpan segudang rasa dendam. Ramah menyapa, tetapi hati membara. Seolah tidak perlu uang, tetapi gemar minta-minta atau menjadi pengemis kelas tinggi. Anehnya, hal itu tidak lagi dianggap sebagai sebuah perilaku yang memalukan dan menjijikkan. Mudah meneteskan air mata, tetapi sigap juga untuk balik menyumpahi. Berdoa panjang-panjang, tetapi ngerumpinya juga jauh lebih panjang. Dasar munafik !  

          Dalam bahasa Yunani, munafik itu disebut dengan “hypocrite”. Intinya adalah adanya perilaku yang dikotomis atau yang mendua dalam diri seseorang. Perilaku dikotomis itu bertentangan satu sama lain. Manusia seperti itu memiliki dua wajah. Tetapi bukan berarti ada dua wajahnya. Maksudnya satu wajah juga, tetapi memiliki penampilan yang ganda. Lain wajah untuk ke gereja, lain pula wajah untuk berjualan. Ada wajah khusus bila ketemu dengan pendeta, dan lain lagi wajah  (biasanya lebih asli) bila ketemu dengan orang lain. Mirip seperti ungkapan para penyair: bagaikan singa berbulu ayam, atau harimau berbulu domba. 

          Yesus menyebut orang seperti itu sebagai “RAGI ORANG FARISI” (ay 1 dalam Lukas 12:1-12). Raginya tidak kelihatan, tetapi mempengaruhi. Bayangkan ! Orang banyak datang beribu-ribu. Mereka berdesak-desakan dan berkerumun mendengar pengajaran Yesus. Eh ternyata, ada udang di balik batu. Ada maksud tersembunyi di balik kedatangan mereka (simak ayat 1b-3). Niat tersembunyi itulah yang dimaksud Yesus dengan RAGI. Tetapi Yesus selanjutnya mengatakan, tidak akan ada yang tidak dibuka. Tidak akan ada yang tersembunyi. Tidak akan ada yang tidak diketahui. Yang dikatakan dalam gelap pun akan kedengaran dalam terang. Semua akan terbongkar. 
                                     
             Ada 2 kiat mengatasi kemunafikan. Pertama: Takut akan Tuhan (ay 4-7). Kemunafikan terjadi sebagai pertanda tidak lagi takut akan Tuhan. Tidak takut akan Tuhan, itu berarti kita sedang membangun jurang maut bagi kita. Kemunafikan itu sendiri adalah maut. Pantas ada nasehat: Mulutmu adalah harimaumu. Dengan takut akan Tuhan, maka maut akan disingkirkanNya. Kita aman dan nyaman di dalam Dia. Burung pipit yang sudah dijual saja tetap dipelihara dan diingat Tuhan. Apalagi kita ? Rambut kita saja sudah dihitung olehNya untuk dipelihara. Kita tak pernah sanggup menghitung rambut sendiri. Menghitung triliunan kita bisa. Ironis sekali, bukan ? 

          Kiat kedua : Mengakui Kristus di depan umum (ay 8-12). Bahasa praktisnya mengaku dan berbicara sejujurnya. Siapa mengakui Anak Manusia di depan manusia, Anak Manusia akan mengakuinya. Siapa menyangkal Allah, dia juga akan disangkal kelak. Itu sebabnya, menghujat Roh Kudus tidak dapat lagi diampuni (ay 10). Pengakuan kita akan Kristus tidak boleh lagi berbeda. Pengakuan kita di hadapan pemerintah dan di hadapan Allah harus sama. Pengakuan kita di hadapan penguasa dan di hadapan Allah juga harus sama. Bila demikian, betullah kita mencari Juruselamat; bukan mencari jurus-selamat dengan ber-ilmu selamat dunia. Amin !  

 

Pdt Banner Siburian, MTh

Gadis Menangisi Tunangan


BAGAI GADIS MENANGISI TUNANGANNYA ! 

             Saudaraku ! Nabi Yoel menceritakan tentang datangnya kawanan belalang yang merusak segala tumbuhan dan musim kemarau yang hebat di Palestina (Yoel 1:8-20). Menurut Yoel, malapetaka ini merupakan pertanda datangnya hari Tuhan. Dia menghukum siapa saja yang melawan kehendakNya. Seiring dengan itu, Yoel memaklumkan pesan Allah kepada bangsa Israel agar bertobat. Juga janji Allah untuk memberkati umatNya dan memulihkan kemakmuran mereka.  

             Tulah belalang itu merupakan akibat dari keberdosaan mereka kepada Tuhan (bnd. Yes 22:2; Yer 4:8). Tulah belalang kini datang menyerang. Mereka kuat dan terbilang banyaknya. Giginya setajam taring singa betina (ay 6). Keberdosaan itu mengakibatkan ketidaksejahteraan bangsa. Akibatnya, laksana gadis yang berduka, mereka menangisi kematian tunangannya (Yoel 1:8). Belum resmi menikah, tetapi sudah ditinggal mati oleh kekasih. Sorak-sorai sudah di depan mata, tetapi pupus lebih dahulu ditelan kematian. Bagi kita orang Batak khususnya, seorang gadis yang ditinggal mati oleh kekasih, dianggap pembawa sial, sekaligus rasa malu yang teramat dalam. Sedih dan pedih tersayat-sayat !

             Dosa membawa dampak buruk terhadap kelestarian lingkungan. Ekonomi warga jadi suram. Simaklah ayat 9: Gandum dan anggur hilang dari rumah Tuhan. Kalau di gereja juga terjadi pencurian, apalagi di tempat lain ? Tanah juga berkabung. Ladang hancur. Segala gandum musnah. Buah anggur kering. Minyak zaitun habis (ay 10, 16-17). Padang rumput gersang. Pohon-pohonan dan sungai kering kerontang dimakan api (ay 19-20). Akibatnya para petani meratap. Para tukang anggur menangis. Rakyat tak dapat bergembira (ay 11-12). Para imampun menangis dan berkabung (ay 13-15). Bahkan dosa ternyata berimplikasi negatif terhadap kawanan domba yang merana dan gelisah (ay  18, 20). Bagaimana wajah domba kalau gelisah ? Saya juga tidak tahu. Tetapi, komplitlah derita bumi ini !  

             Saudaraku yang kekasih ! Penderitaan bangsa kitapun tak luput dari dosa. Maraknya banjir, kematian karena gizi buruk, longsor, memiliki kaitan dengan mentalitas warga negara. Tiupan dana aspirasi di tingkat legislatif menjadi tanda mereka belum berpihak kepada rakyat, meski dikemas dengan mengatasnamakan solidaritas kepada masyarakat. Dosa siapa ini ? Ini dosa siapa ?  Krisis minyak bumi, krisis listrik dan sumber daya alam lainnya tentu ikut memberi dampak buruk dalam berbagai bentuk. Sebagai gereja, kita wajib menjadi pemerhati krisis energi masa kini, agar penderitaan kita sebagai rakyat dapat semakin teratasi.

             Segala bentuk dosa harus kita lawan, agar kesejahteraan umat semakin terbangun. Kiatnya ? Berpuasa secara kollektif dan berseru minta tolong kepada Tuhan (ay 14). God can not stop loving us. Marilah kita berserah kepadaNya dan jangan menyerah. Maka kita dan bangsa kitapun akan ikut dipulihkan (2 Taw 7:14). Kesalahan memang selalu membawa petaka. Namun insyaf dari dosa, akan selalu membawa mahkota. Bila demikian, maka jamin, tidak akan seorangpun dari antara kita bagai gadis yang menangisi tunangannya. Amin !     

 (Pdt Banner Siburian, MTh)

Anggur di Kana

Renungan Minggu OKULI , 07 Maret 2010:

Berubah Secara Kualitatif

(Pdt Banner Siburian, MTh)

Saudaraku yang kekasih ! Hari ini design warta jemaat kita berubah. Namun, bukan asal berubah. Tampilan, wajah, muatan, halaman, lay-out serta isinya juga berubah. Renungan yang anda sedang baca ini misalnya telah bergeser ke halaman ke dua. Isinya dituangkan secara utuh dalam warta ini. Tentu, dari kita pun diharapkan perubahan. Misalnya ? Kita senang memiliki warta jemaat ini. Kita bawa ke rumah, kita pergumulkan dan kita doakan isinya. Berubah apa lagi ? Bila selama ini warta jemaat sering berserakan, alangkah bahagianya kita semua, bila sejak hari ini warta ini kita bawa. Sedikitnya, kita taruh dengan rapih di meja depan gereja. Warga jemaat yang beribadah kemudian pun akan dapat memiliki warta jemaat.

Dalam perikope Yohanes 2:1-10 ini, kita melihat perubahan air menjadi anggur. Ketika anggur habis, Yesus bertindak dengan kuasaNya. Perubahan itu bukan sekedar berubah, tetapi anggur itu amat baik. Perubahan itu dimulai dengan kerelaan para pelayan menyiapkan tempayan, serta melakukan perintah Yesus mengisinya dengan air. Perubahan itu sangat kualitatif, sebab anggur yang belakangan ternyata lebih manis dibandingkan dengan anggur yang disajikan pada awalnya. Perubahan itu kualitatif, sebab semakin ke akhir, dijumpai adanya peningkatan mutu yang amat jelas.

Perubahan itu juga kita lihat dari niat dan tekad untuk mengubah kebiasaan. Pemimpin pesta itu berkata: biasanya orang menyajikan anggur yang baik terlebih dahulu, baru yang kurang baik. Yesus mengubah kebiasaan itu. Tetapi yang Dia ubah bukan hanya bentuknya, melainkan juga isinya. Karena itu, setelah air anggur yang biasa, Yesus menyediakan air anggur yang terbaik, yang paling manis: darahNya sendiri. Itulah yang Yesus sediakan, agar siapa saja yang meminumnya, ia tak akan haus untuk selama-lamanya. Marilah membiasakan yang benar; bukan membenarkan kebiasaan.

Manusia, biasanya sering hanya menghargai bentuk, dan bukan isi. Atau, bila orang menghormati isi, bentuknya mungkin diabaikan. Namun, Yesus tidak hanya mengubah bentuk saja, atau mengubah isinya saja. Dia mengubah keduanya: bentuk dan isi. Itulah perubahan yang kualitatif. Kitapun harus berubah secara kualitatif. Bentuk kepribadian kita harus diubah oleh kuasa Firman, tetapi isi hati kita juga sejatinya harus berubah. Perubahan seperti ini kiranya dapat terjadi di tengah-tengah gereja kita HKBP Sukajadi yang kita cintai ini. Halaman kita harus bersih. Tetapi hati kita juga semakin bersih. Gereja kita harus bersih dari sampah berserakan, dan hati kitapun harus semakin kita asah agar semakin bersih. Amin !

RENUNGAN MINGGU

Renungan Minggu XVII Trinitatis, 26 September 2010:

Mendengar Suara Hati Nurani !
(Yohanes 8:1-11)


Saudaraku ! Setiap orang, siapapun dia, pasti memiliki hati nurani. Biasanya hati nurani itu sangat murni. Dia tidak kompromi dengan segala bentuk kejahatan. Bila kita mau berbohong misalnya, hati nurani itu segera menyapa otak sadar kita dengan berkata: Itu salah. Kamu jangan bohong. Kalau kita mendengar suara hati, kita terhindar dari kejahatan. Bila kita melawannya, kita akan menanggung pil pahit. Bila hati nurani sudah tumpul dan mati, tindakan orang itu akan fatal tak terkendali.

Suara hati nurani dalam bahasa Yunani disebut suneidesis. Dialah manusia batiniah kita atau “roha-jolma parbagasan”. Bagi orang Batak, manusia batiniah itu sering dipahami sebagai ‘taroktok’ atau ‘panggora ni roha’, yakni bagian paling suci di kedalaman jiwa sanubari kita. Dia mendorong kita melakukan yang baik. Dia mengingatkan kita, mana kala kita mengambil tindakan yang salah. Di tengah suara-suara miring dan bising di sekeliling kita, itulah yang sejatinya kita harus dengar.

Dalam nats ini, kita melihat tindakan orang Farisi dan Saduki, dilatar-belakangi hati nurani yang telah tumpul. Mereka memperalat seorang wanita yang kedapatan berzinah dengan tujuan yang jahat. Mereka juga ingin menjebak Tuhan Yesus, untuk kemudian beroleh alasan menangkapNya. Mereka, ibarat musuh dalam selimut, dekat-dekat dengan Yesus, tetapi dalam rangka mencari-cari kesalahanNya semata. Yesus sadar betul akan hal itu. Yesus tidak mau digiring dan terpancing untuk niat busuk mereka, yang hati nuraninya telah mati itu. Yesus mendengar suara hati nuraniNya, sehingga tidak terjebak dengan kelicikan mereka.

Yesus mendengarkan suara hatiNya. Suara hati nurani itu telah mengalahkan niat busuk Farisi dan Saduke, sekaligus mengecam wanita zinah itu. Yesus tidak mentolerir perilaku jahat wanita itu. Memang, dalam hukum Musa, tepatnya dalam Ulangan 21:21, seorang wanita, bila kedapatan berzinah, dia harus dilempari dengan batu sampai mati. Yesus bukan mau membenarkan moral rendah wanita zinah itu. Namun, Yesus juga tidak mau dijebak oleh guru-guru agama tadi. Suara hati nurani Yesus, menegor keras guru-guru agama, sekaligus menegor perempuan itu. Suara hati nurani Yesus juga membangun hati nurani Farisi dan Saduke yang telah tumpul, tetapi juga membangun hati nurani perempuan zinah itu.

Kata Yesus: Orang yang tidak punya dosa di antara kalian, biarlah dia yang pertama melempar batu kepada wanita itu (ayat 8). Mendengar itu, pergilah mereka satu demi satu dari tempat itu, mulai dari yang tertua. Dengan perginya mereka, itu berarti mereka menjadi sadar sebagai orang berdosa, sekaligus hati nurani mereka dihidupkan kembali oleh Tuhan Yesus. Hati nurani perempuan zinah itu juga dipulihkan, saat Yesus berkata: Sekarang pergilah, jangan berdosa lagi.

Saudaraku ! Baik Farisi, Saduke dan perempuan zinah itu, adalah potret hidup kita. Mungkin, seperti mereka, suara hati kita juga sudah tumpul atau sudah mati. Kini, biarkanlah Yesus Kristus menjamah hati nurani kita. Maka suara hati nurani saudara, suara hatiku dan suara hati nurani kita semua, akan dipulihkan kembali oleh Suara hati nurani Yesus. “SuaraMu kudengar, memanggil diriku……”. Amin !
banner_siburian@yahoo.com