Jumat, 15 Juli 2011

Riwayat HIdup I.L. Nommensen

Nama lengkapnya adalah Ingwer Ludwig Nommensen. Dia dilahirkan di Noordstrand  tanggal 6 Februari 1834. Dia adalah satu-satunya anak laki-laki, dengan tiga orang saudara perempuan. Dia disidikan pada minggu Palmarum tahun 1849. Memperoleh pendidikan Sekolah Pendeta di Barmen tahun 1857-1861, beserta kursus-kursus bahasa, seperti bahasa Latin, bahasa Yunani dan bahasa Batak. Ditahbiskan menjadi pendeta pada tanggal 13 Oktober 1861, satu minggu setelah pertemuan ke-empat penginjil di Parausorat, Sipirok. Dia menikah di Sibolga dengan Nona C.M. Gubrodt pada tanggal 6 Maret 1866.
Dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya selalu sakit-sakitan, dan meninggal sewaktu Nommensen berumur 14 tahun (tanggal 21 Juli 1848). Sejak Nommensen berumur 8 tahun. Dia sudah mulai bekerja sebagai pekerja upahan, agar kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Pada awalnya dia bekerja sebagai pekerja upahan dengan menggembalakan ternak orang lain. Pada umur 10 tahun, dia menjadi pekerja upahan dengan bertani di sawah orang lain.
Pada umur 13 tahun dia digilas oleh sado. Kakinya terinjak oleh kuda yang membawa sado itu. Selama enam bulan dia lumpuh. Kakinya terus bernanah. Dokter mengatakan: “Kalau mau hidup, kakinya harus dipotong”. Namun, Nommensen tidak bersedia. Nommensen membaca dan merenungkan firman Tuhan dari Yohanes 6:23-26. Setelah itu, dia berdoa: “Ya Allah, sembuhkanlah kaki saya dan suruhlah aku ke tengah-tengah orang penyembah berhala”.
Enam minggu kemudian penyakitnya sembuh. Dia bisa menginjakkan kakinya seperti biasanya. Maka didorong oleh janjinya itulah, hati Nommensen selalu tergerak untuk memberitakan Injil di tengah-tengah penyembah berhala.
Pada usia 19 tahun, Nommensen sebenarnya sudah berkemas pergi berlayar ke tengah-tengah orang penyembah berhala untuk memberitakan Firman Tuhan. Dia selalu teringat dan didorong oleh apa yang telah dijanjikannya sejak berumur 13 tahun, tepatnya pada tahun 1847. Kemudian pada tahun 1853, dia juga berkemas untuk berlayar. Namun tak satupun dari antara sekian banyak kapal yang bersedia membawanya. 
Dan pada tahun 1851-1853, dia kembali bekerja sebagai gembala biri-biri (domba) pada suatu pulau yang berdekatan dengan desa tempat tinggalnya. Di situ dia sakit keras. Majikannya mengantarkannya pulang ke rumah orangtuanya.
Setelah sembuh dari penyakitnya itu, dia kembali bekerja sebagai buruh untuk membuat jalan kereta api antara Hisum dan Rendsburg. Namun, di situpun dia tidak bekerja dalam waktu yang lama. Wabah kolera yang terjadi di sana, membuatnya harus segera kembali lagi ke kampung halamannya. Sambil menantikan adiknya lahir, Lucia, dia juga bekerja sebagai pekerja upahan untuk membuat tembok di desanya.
Kemudian hari dia berangkat ke desa pamannya di kota Okkolm. Di sana dia bekerja sebagai guru pembantu. Tahun 1854-1855, dia menjadi guru pembantu di Risum. Tahun 1855-1857 dia menjadi guru pembantu di Elberfeld.
Setelah ditahbiskan menjadi pendeta, maka tanggal 1 November 1861, Nommensen berangkat menuju Belanda untuk bertemu dengan Pdt. Witteveen, yang telah mengutus Betz dan Van Asselt ke Sumatera. Di sana, dia berkenalan dengan van der Tuuk, yang sebelumnya telah mengunjungi Sumatera dan banyak belajar mengenai orang Batak. Saat itulah dia juga belajar bahasa Batak dari van der Tuuk. Lalu tanggal 24 Desember 1861, Ingwer Ludwig Nommensen menompang kapal PERTINAX, berlayar menuju Sumatera melalui Nieuwendiep.
Dalam pelayaran menuju Sumatera dari Eropah, pada suatu malam Nommensen tidak bisa tertidur. Dia mendengar suatu suara supaya dia naik ke atas. Setelah naik ke atas, dia melihat kapal yang membawa mereka hampir bertabrakan dengan sebuah kapal besar, sedangkan semua anak kapal sedang tertidur. Dengan cepat semua anak kapal dibangunkannya. Kemudian kemudi kapal diambil-alih, sehingga tabrakan maut dapat dihindari.
Dia berlayar selama 142 hari, lalu tiba tanggal 16 Mei 1862 di Padang. Kemudian tanggal 16 Juni dia tiba di Sipirok, dan  terus melanjutkan perjalanan ke Barus pada tanggal 25 Juni 1861, dan kemudian tinggal di Barus selama kurang lebih enam bulan.
Saat itu, Residen Tapanuli tidak mengizinkan Nommensen berdiam di Barus, karena alasan dominasi Islam yang kuat di daerah pesisir, sulitnya sarana jalan menuju pusat tanah Batak melalui Humbang serta pemerintah kolonial yang tidak dapat menjamin keselamatannya di sana. Sebelumnya, rencana Nommensen adalah membuat Barus sebagai basis pekabaran Injil ke dataran tinggi Toba menuju Rambe dan Pakkat.
Karena itu, Nommensen memutar haluan. Dia mengubah rencana dan strategi. Tanggal 30 November, dia meninggalkan Barus menuju Sibolga. Pada tanggal 30 Desember dia memutar haluan dan berangkat menuju Sipirok. Dia bertemu dengan Heine di Sigompulon dan dengan van Asselt di Sarulla, lalu bertemu dengan Klammer di Sipirok sekaligus bertahun baru di sana. Setelah itu, Nommensen tinggal di Parausorat-Sipirok selama 10 bulan. Di situ dia melakukan pekabaran Injil, mengajar anak-anak dan mengunjungi orang-orang sakit.
Setelah kurang lebih 10 tahun  berada dan mengbarkan Injil di Sipirok, maka pada tanggal 7 November 1863, Nommensen berangkat menuju Silindung, lalu tiba di suatu tempat antara Lumbanbaringin Sitompul dan Pansurnapitu. Itulah yang disebut dengan puncak bukit Siatasbarita. Dari situ, Nommensen jelas melihat lembah Silindung. Di situ dia beristirahat serta memanjatkan doa dan tekad serta nazarnya: Hidup atau mati, aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini, berdiam memberitakan firmanMu. Dalam sepucuk surat yang dikirimnya ke Barmen, dia menuliskan penglihatan itu sebagai visi masa depan tanah dan masyarakat Batak:
“Dalam roh saya melihat di mana-mana jemaat-jemaat Kristen, sekolah-sekolah dan gereja-gereja. Orang-orang Batak, tua dan muda, berjalan ke gereja-gereja itu. Di setiap pejuru saya mendengar bunyi lonceng gereja memanggil orang-orang beriman datang ke rumah Allah. Saya melihat di mana-mana sawah dan kebun-kebun diusahakan, padang-padang penggembalaan dan hutan-hutan yang hijau, kampung-kampung dan kediaman-kediaman yang teratur yang di dalamnya terdapat keturunan-keturunan yang berpakaian pantas. Saya melihat pendeta-pendeta dan guru-guru orang pribumi berdiri di atas mimbar, menunjukkan cara hidup Kristen kepada yang muda maupun yang tua. Anda mengatakan bahwa seorang pemimpi, tetapi saya berkata, tidak. Saya tidak bermimpi. Iman saya melihat itu semua. Hal itu akan terjadi, karena seluruh kerajaan akan menjadi milikNya dan setiap lidah akan mengetahui bahwa Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa. Karena itu, saya merasa gembira, walaupun mereka mungkin menentang firman Allah, yang mereka lakukan tepat seperti mudahnya mencegah firman Allah dari hati mereka. Suatu aliran berkat pastilah akan mengalir atas mereka. Hari sudah mulai terbit. Segera cahaya terang akan menembus, kemudian Matahari Kebenaran dalam segala kemuliaanNya akan bersinar atas seluruh tepi langit tanah Batak, dari Selatan bahkan sampai ke pantai-pantai Laut Toba”.
Nommensen berhasil mendirikan Huta Dame, Saitnihuta sebagai ‘pargodungon’ pertama di tanah Batak bagian utara. Dia berdiam di sana selama 9 tahun. Pada tahun 1872, Nommensen pindah dari Huta Dame ke Pearaja, lalu mendirikan rumah dan gereja pada tanah yang diberikan oleh Raja Pontas Lumbantobing (kemudian disebut dengan Obaja). Nommensen pindah ke Pearaja, karena tempat gereja dan perumahan yang ada di Huta Dame sering kebanjiran dan tergenang air.
Demikianlah Nommensen terus mengabarkan Injil serta mengajar. Dari Pearaja Nommensen menyebarkan Injil menuju Toba, Balige, bersama-sama dengan Pdt. Johannsen dan Pdt. Simoneit. Pada tahun 1886, Nommensen juga tinggal di Laguboti serta mengabarkan Injil di sana serta di Sigumpar.
Nommensen mengalami banyak tantangan bahkan duka di dalam keluarga, saat dia mempertaruhkan nyawanya untuk pekerjaan pemberitaan Injil. Anak perempuan sulungnya, bernama Anna, meninggal dunia tanggal 10 Juli 1872. Sembilan hari kemudian, tepatnya 19 Juli 1872, Ny Nommensen jatuh sakit, yang kian hari kian berat. Maka, Ny Nommensen kemudian pindah dan tinggal di Eropah pada tahun 1880. Dan pada tanggal 29 Maret 1886, dia meninggal dunia di sana. Nommensen tidak dapat menghadirinya, karena pekerjaan Injil dan tinggal di Sigumpar. Pada tanggal 23 Mei 1918, Nommensen juga menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Mujizat Tuhan telah nyata. Tuhan sendirilah yang menolong dan mendahuluiNya dalam memberitakan Injil. Karya Nommensen tetap hidup hingga kini. Sungguh luar biasa. Melalui pekerjaan pemberitaan Injil Nommensen, kini kita dapat memetik banyak perenungan kehidupan dari padanya, terutama dalam arak-arakan penginjilan melalui sikap, perangai, perbuatan, tingkah-laku maupun tutur kata kita.
Marilah kita juga meneladani sikap Nommensen, yang imannya kokoh, tekadnya membaja, keteguhan dan kerendahan hatinya, pengharapannya yang teguh serta kesetiaan dan kesungguhannya untuk berserah kepada tangan kuasa Tuhan.
Selamat berjubileum 150 tahun HKBP. Horas HKBP !  

                            Pdt Banner Siburian, MTh

2 komentar: