Pengantar
Penafsiran
yang saya maksudkan dalam tulisan sederhana di bawah ini, hanya merupakan garis
besar atau prinsip-prinsip dasar dari penafsiran Alkitab. Otoritas
Alkitab menjadi semakin nyata, bila kita memahami Alkitab itu
sendiri.
Biasanya
orang tidak mengerti Alkitab, disebabkan karena:
a). Ada
kelompok yang putus asa, yang
memahami bahwa Alkitab adalah sebuah buku yang sulit untuk dimengerti. Alkitab
itu benar sebagai Alkitab, bila sulit dimengerti. Bila Alkitab dapat
dimengerti, seolah Dia tidak benar sebagai Alkitab.
b). Kelompok
yang membelokkan atau memutarbalikkan
makna yang tertulis dari Alkitab, sehingga sesuai dengan lingkungan mereka.
Alkitab dipakai untuk mengajarkan keinginannya. Dia tergoda untuk mengontrol
Alkitab, dan bukan lagi Alkitab yang mengonrol hidupnya (kita lihat Yesaya 42:18-20
sebagai contoh).
Untuk lebih mengerti pemahaman penafsiran
Alkitab ini, kita melihat ada empat (4)
prinsip dasar penafsiran Alkitab. Prinip ini keluar dengan sendirinya dari
Alkitab itu sendiri dan dari sifat Allah sendiri sebagaimana dinyatakan
Alkitab. Berhala-berhala adalah bisu, tetapi Allah adalah hidup dan telah
berfirman. Mengapa Allah berfirman, dan
bagaimanakan Dia berfirman ? Pertanyaan inilah yang melahirkan prinsip ini.
1. Prinsip Kesederhanaan (principle of simplicity)
Dalam
prinsip ini, kita mencari makna yang
wajar dari Alkitab. Allah berbicara, adalah supaya bisa dimengerti.
Berbicara adalah komunikasi yang paling langsung. Kita berbicara agar
dimengerti. Dan tujuan bicara adalah komunikasi saling pengertian, saling
memahami.
Allah
juga demikian. Allah berfirman, agar bisa
dimengerti. Allah, yang adalah terang dan bersifat terang, mengungkapkan
diriNya agar dapat memberi terang seperti lampu memperlihatkan segala sesuatu.
Allah ingin dikenal, karena itulah Dia bersabda (bnd. Mzm 119). Karena itu, Alkitab
bukan buku teka-teki. Alkitab mudah dipahami, karena dia sendiri bersifat
transparan.
Memang
ada bagian-bagian Alkitab yang sulit dipahami. Namun pesan atau amanat yang
mendasar (esensial) dari Alkitab, jelas mudah dimengerti, yaitu jalan
keselamatan melalui dan di dalam diri Yesus Kristus.
Dalam hal ini, kita harus waspada dan
kritis terhadap dua (2) model penafsiran, yang biasa disebut dengan penafsiran Allegoris dan penafsiran Anthropomorfis.
Kita menolak penafsiran Allegoris
(muluk-muluk), seperti yang sudah diprotes oleh para reformator pada abad-abad
pertengahan. Pengertian yang wajar dari suatu ayat Alkitab, tidaklah selalu
harfiah. Misalnya Nikodemus, menanggapi kembali ke rahim ibu secara harfiah.
Karena itu dia berpikir: Bagaimana saya kembali ke rahim ibu saya dan
dilahirkan ke dua kali ? Padahal ayat ini berbicara secara kiasan.
Juga tentang wanita Samaria, yang kepadanya ditawarkan air hidup. Dia
menanggapi itu secara harfiah, sehingga dia mengatakan: Tetapi tuan tidak punya ember, sumur ini sangat dalam. Padahal,
Yesus memaksudkan Air yang tidak seperti
air biasa.
Yang kedua, kita hati-hati terhadap
penafsiran Anthropomorfis, yaitu Allah berbicara dalam bentuk manusia.
Alkitab sering menyebut bahwa telinga Allah terbuka mendengar doa-doa kita,
atau mata Tuhan terbuka melihat kita, tangan dan jari, bahkan hidung Tuhan yang
mencium bau harum korban-korban bakaran. Tetapi di sisi lain disebut bahwa
Allah itu Roh adanya. Berarti Allah tidak punya tubuh, tangan, telinga, hidung
dan sebagainya.
Inilah yang disebut dengan ungkapan anthropomorfis, satu cara yang
mengungkapkan seolah-olah Allah itu manusia. Ini tidak harus ditanggapi secara
harfiah. Misalnya: Mata Tuhan melihat ke sana dan ke mari, ke seluruh bumi. Itu
tidak berarti ada dua (2) mata Allah yang melihat ke sana dan ke sini. Ini
memberi kiasan, bahwa Allah melihat dan memandang kita di mana saja.
Contoh lain, ada ayat-ayat yang puitis (seperti Mzm 19) yang menyebut bahwa
”langit” menyatakan kemuliaanNya, matahari ke luar dari kemah seperti
pengantin, Matahari berlari melintasi langit seperti atlit. Di sini Matahari
diumpamakan seperti orang yang tinggal di kemah, sebagai pengantin dan atlit.
Hal ini adalah ungkapan puitis, bukan ilmiah. Jadi Mazmur 19, tidak menentang ajaran Kopernicus. Bukan mau
menhyatakan bahwa Matahari mengelilingi bumi. Jelaslah, bahwa semua yang
dinyatakan di dalam Alkitab adalah benar. Tetapi memang, tidak semuanya
pernyataan dalam Alkitab secara harfiah benar.
2. Prinsip Sejarah (principle of history)
Prinsip ini
menyatakan bahwa Allah berbicara dalam
konteks yang tepat. Allah bukan berbicara dalam kekosongan, tetapi bicara
di dalam suatu konteks sejarah kemanusiaan yang tepat. Allah turun di dalam situasi penulis-penulis Alkitab. Dia
menurunkan diriNya pada level atau
tingkat mereka. Dia menyatakan diri dan kehendakNya dalam pengertian yang
mereka dapat pahami. Ini diungkapkan dalam inkarnasi Allah sebagai penyataan
diriNya.
Ketika
Allah mendatangi kita, maka Dia mengambil
bentuk tubuh manusia. Dan ketika Allah berbicara, Ia menggunakan bahasa manusia. Bentuk tubuh manusiawi
yang dipilih dan dipergunakan oleh Allah, adalah bentuk tubuh seorang laki-laki Yahudi pada abad I. Dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Ibrani kuno dan bahasa Yunani
sederhana sehari-hari.
Inilah
prinsip sejarah, mengantar kita kepada kepengarangan
ganda akan Alkitab. Alkitab adalah
Firman Allah, sekaligus ”kata-kata” manusia. Dan sesungguhnya, Alkitab
adalah Firman Allah melalui kata-kata manusia (bnd. Hukum Taurat, kadang-kadang disebut Hukum Allah dan kadang sebagai
hukum Musa). Contohnya: Ibrani 1:1ff menyatakan bahwa Allah berbicara pada
bapak-bapak orang beriman melalui para nabi. Tetapi dalam 2 Petrus 1:21,
orang-orang berbicara dari Allah. Manakah yang benar ? Keduanya adalah benar,
yakni bahwa Allah berbicara melalui manusia, dan juga manusia berbicara atas
nama Allah.
Kita tidak boleh meremehkan yang satu dan
menekankan yang lainnya. Di satu pihak Allah berbicara, tetapi tidak
merendahkan kepribadian manusia atau penulis-penulis itu. Di pihak lain,
manusia berbicara, dan waktu mereka berbicara, mereka menggunakan seluruh indera
mereka, tetapi mereka tidak memutarbalikkan kebenaran, pesan, amanat yang ilahi
itu.
Kepengarangan ganda ini, mengajarkan kepada
kita bagaimana membaca Alikitab dengan dua (2) cara, yakni:
i.
Karena Alkitab adalah Firman Allah, maka kita membacanya tidak sama dengan
buku-buku lain. Karena itu, sebelum membacanya kita berdoa dengan rendah hati,
dan dengan penuh penerimaan. Dan kita mengharapkan Allah berbicara kepada kita
melalui FirmanNya.
ii.
Karena Alkitab juga adalah buku yang ditulis manusia, maka kita membacanya
seperti buku-buku lain yang ditulis oleh manusia. Kita memperhatikan
konteks-konteks historis, geografi dan kebudayaan setempat, termasuk
tata-bahasa dan kata-kata yang digunakan.
Dalam prinsip sejarah ini, kita mencari
makna asli, dan kita harus kembali ke situasi ayat itu disampaikan. Itulah
exegese; bukan isegese.
3. Prinsip Keselarasan (principle of harmony)
Prinsip
ini menyatakan bahwa Allah berfirman, tanpa berkontradiksi dengan diriNya
sendiri. Dalam Alkitab, ada kepelbagaian yang bervariasi, tetapi seluruhnya itu
merupakan satu kesatuan yang utuh, menyatakan keselamatan dalam diri Yesus
Kristus. Tema-tema, kata, ungkaan-ungkapan yang sama terus muncul dari berbagai
kitab di Alkitab. Misalnya, tema tentang pewahyuan atau penyataaan, penebusan,
pemilihan, perjanjian, anugerah, iman, dan tema-tema lain.
Kepelbagaian dan kesatuan ini disebabkan
oleh kepengarangan ganda Alkitab tadi. Karena Allah yang berbicara melalui
banyak penulis-penulis yang berlainan, maka ada kepelbagaian (misalnya: Trinitas dalam Perjanjian Baru,
dimengerti dalam terang kesatuan Allah dalam Perjanjian Lama; bnd. Yes 6).
Dalam hal ini kita perlu bertobat terhadap
dua (2) hal, yakni:
i.
Kita sering minta pimpinan Tuhan, kita berdoa, lalu buka Alkitab. Tutup
mata, lalu buka, dan saat itu kita lihat satu ayat, lalu itulah ayat untuk
kita. Tetapi bagaimana kalau yang kita baca itu adalah: ”Yudas pergi
menggantung dirinya” ? Lalu kita coba lagi untuk kedua kali, tutup mata, lalu
tarok pensil, lalu buka mata, dan kali ini kita misalnya membaca: ”Pergilah,
lakukanlah hal itu”. Lalu kita coba lagi untuk ke tiga kali, dan kita baca: ”
Apa yang akan kamu lakukan, lakukanlah segera” (?).
Harus kita ingat bahwa ayat-ayat Alkitab
bukanlah ayat-ayat yang tidak berhubungan satu sama lain, tetapi satu kesatuan yang
hidup. Dalam hal ini, kita haruslah mencari makna umum.
ii.
Yang disebut dengan proof text,
yaitu membayangkan bahwa anda dapat menyelesaikan masalah dengan mengutip satu
ayat. Adalah berbahaya, bila seseorang mencabut ayat-ayat tertentu, untuk mensahkan
suatu doktrinnya, atau kehendaknya (ini adalah isegese, dia memakai ayat Alkitab sebagai legitimasi terhadap
pikiran atau kehendaknya). Doktrin diungkapkan bukan dalam satu ayat, tetapi
dalam suatu kumpulan ayat-ayat. Kita tidak bisa mencabut satu ayat, lepas dari
konteksnya. Kita harus baca satu ayat dalam terang ayat-ayat lainnya, dan
ayat-ayat dalam terang keseluruhannya. Lalu kemudian kita mencari keselarasan
ayat-ayat yang satu dengan yang lain (bnd.
Yakobus dengan Paulus).
Contohnya,
bagaimanakah dua pandangan (Yakobus dan Paulus) ini bisa bertemu ? Luther
mengatakan tidak mungkin. Maka dia menolak Yakobus. Namun kita sebenarnya dapat
menyelaraskan kedua pandangan itu, bila kita membacanya dalam konteks
masing-masing. Yakobus berkata, bila hanya percaya begitu saja, itu tidak
menyelamatkan siapapun (bnd. Yak 2:19). Iman yang hidup dan menyelamatkan akan
diwujudkan dalam perbuatan baik. Hanya, Paulus menekankan sisi imannya.
4. Prinsip Modernitas (principle of modernity)
Prinsip
ini menekankan, bahwa Allah berfirman melalui apa yang telah disabdakanNya.
Problem utama yang kita hadapi dalam membaca Alkitab, adalah kesenjangan budaya
antara dunia modern dengan dunia Alkitab dahulu. Di antara masa hidup kita
sekarang dengan dulu ada 2000 tahun, dengan kebudayaan yang berobah-obah dan
berbeda.
Dari sisi ini, Alkitab bisa terasa asing,
kuno dan ketinggalan jaman. Namun, Alkitab bukan fosil yang ditempatkan di
museum rumah kaca. Alkitab, adalah amanat yang hidup untuk masa kini. Alkitab
adalah peristiwa Allah berkhotbah
atau ber-Firman. Melalui apa yang tertulis dalam Alkitab, Allah berbicara pada
masa kini, sehingga kita harus mencari
arti untuk masa kini, bukan untuk masa dahulu saja.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar