BERTEOLOGI DALAM KHOTBAH
(Sebuah Pengantar Sederhana)
Pdt Banner Siburian
Pengantar
Yang saya maksudkan dengan judul ini
adalah khotbah, sebagai salah satu tugas panggilan terpenting dalam pelayanan.
Khotbah bertolak dari 3 bentuk Firman, yaitu: Firman yang diberitahukan,
yang tertulis dan yang dinyatakan. Sering muncul bahaya pencampuradukan
ucapan pengkhotbah sendiri dengan Firman Allah. Sehingga yang nampak adalah ide
pengkhotbah dan dirinya sendiri. Padahal Kristuslah yang tetap harus dikhotbahkan.
Tulisan sederhana ini dimaksudkan
untuk menghidupkan motivasi serta kerelaan dan kesediaan berkhotbah, bagi
segenap parhalado yang ada di gereja kita. Sebab ternyata, masih banyak
ditemui, seseorang parhalado enggan atau merasa takut berkhotbah. Pernah juga
dijumpai seseorang parhalado, hingga pensiun belum pernah berkhotbah. Dan di
sisi lain, khotbah yang disampaikan hendaknyalah khotbah yang menyelamatkan
(Yak 1:21), memberi hikmat (2 Tim 3:15), memberi pengajaran (2 Tim 3:16),
membangun hidup (Kis 20:32) serta menghibur umat (Yes 40:1; 51:12; 2 Kor 1:4; 1
Tes 5:14; 2 Tes 2:17).
Dalam sekolah Teologi, Ilmu
Berkhotbah disebut dengan Homiletika. Kata Homiletika berasal
dari kata Yunani Homilia, yang arti sederhananya adalah percakapan dari
hati ke hati (Luk 24:14; Kis 20:11). Tekanan utama dari perkataan ini ialah
bentuk dan cara percakapan itu, yakni percakapan antara sesama saudara secara
timbal balik, dan bukan pada isi percakapan atau apa yang dipercakapkan. Kata
lain yang sepadan dengan Homiletika ini adalah Kerussein,
artinya: mengumumkan sesuatu dengan suara nyaring dan keras (bnd. Mat 3:1; Mrk
16:15). Apa yang diberitakan adalah Kerygma (berita, amanat), sedangkan
orang yang memberitakannya disebut keruks. Pemberita ini hanyalah alat.
Ia tidak menyampaikan berita yang dibuatnya sendiri, tetapi berita dari yang
mengutusnya. Kata Kerussein ini sering dihubungkan dengan Euanggelion
(Injil, Kabar Baik).
Alkitab dan Pengkhotbah
Banyak pengkhotbah apatis bahkan takut
berkhotbah. Alasannya macam-macam. Tetapi bila kita jujur, maka penyebab
utamanya adalah: dia sendiri (pengkhotbah) tidak yakin akan dirinya
serta tidak percaya diri. Dan yang paling utama, dia sendiri tidak yakin akan
tuntunan Tuhan kepadanya. Jadinya, jemaat sendiripun tidak yakin lagi akan
ucapan khotbahnya.
Pertanyaan yang sering muncul di benak
kita adalah: Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar ? (Yes
53:1; bnd. Yoh 12:38; Rom 10:16). Dan tidak bertanya: ”Bagaimanakah saya
berkhotbah” ? Pengkhotbah menjadi gusar,
tertekan dan tergoda bertanya: ”Bagaimana saya dapat menjadikan apa yang
hendak saya katakan itu relevan” ?
Untuk ini baiklah dipahami secara
bersama, bahwa Alkitab adalah peristiwa yang senantiasa hidup ! Karena itu,
Alkitab akan kita baca dengan hidup pula. Alkitab bukan sesuatu yang terjadi
pada masa lampau saja, untuk diterapkan atau direlevansikan dengan hidup
sekarang. Alkitab bukan saja relevan, tetapi memang hidup sepanjang zaman (Ibr
13:8). Martin Luther mengingatkan kita dengan mengatakan bahwa Kristus
bukan saja pernah hidup, tetapi Ia masih tetap hidup, dan akan tetap hidup.
Kristus bukan saja jadi ”martir”, tetapi Ia juga pemenang, dan tetap akan
menjadi pemenang.
Tetapi lebih berbahaya lagi, bila
jemaat mempercayai seluruhnya yang dikatakan pengkhotbah, bila dia bukan lagi
mengkhotbahkan Kristus, tetapi dirinya sendiri dan idenya. Lidah memang tak
bertulang. Dia hanya sekitar 1 ons, tetapi bisa membakar dunia. Dia memang
lembut, basah dan dingin, tetapi juga bisa membakar. Dalam
bahasa Batak ada teka-teki: Ibana na sumio, hape tonu torus. Karena itu,
kita harus terus melatih diri untuk beribadah. Berkhotbah adalah sekaligus
ibadah kita (bnd. 1 Tim 4:7-8). Hal ini mesti kita waspadai.
Hati-hatilah para pengkhotbah (Yak 3:1-12). Pengkhotbah juga tidak dapat
menghindari penghakiman (bnd. Mzm75:8; Yes 3:14ยช).
Mampukah Kita Berkhotbah ?
Sesungguhnya kita tidak dapat memikul beban tugas
pemberitaan. Kita juga tidak dapat berbicara tentang Allah. Paling
secara intelektual. Itupun tidak tahu betul. Namun, ketidakmampuan manusiawi
kita dalam berkhotbah dan berbicara tentang Allah hanya dapat dinilai atas
dasar perintah ilahi untuk memberitakan Injil (1Kor 9:16). Inilah beban
setiap pengkhotbah, laksana api yang menyala-nyala terkurung dalam tulang-tulang
(Yer 20:9). Berkhotbah, juga adalah konsekwensi logis terhadap apa yang
kita lihat dan dengar (Kis 4:20). Untuk ini tidak ada tawar menawar. Apa
yang kita lihat dan dengar, yaitu kemurahan Allah dan suaraNya, itulah yang
diberitakan.
Banyak orang bertanya: Apakah harus
? Ada yang mengatakan: Saya tidak mampu ! Benar, kita memang tidak mampu,
namun dimampukan oleh Allah melalui Roh Kudus. Kita memang terbatas, namun kita
disanggupkan olehNya. Karena itu, marilah kita meminta kekuatan kepada yang
tidak terbatas itu. Kita memang tidak mampu, tetapi dimampukan Allah melalui
kuasa Roh Kudus (2 Kor 12:9). Khotbah adalah hutang yang mesti dibayar.
Suatu harga yang tidak pernah lunas. Tugas pelayanan ini harus selalu dibayar
tunai, tetapi bukan berarti pernah lunas (2 Tim 4:5).
Dengan berkhotbah, haruslah kita
pahami sebagai ”tugas dan beban” yang Kristus berikan. Karena itu, siapa yang
menghindar dari tugas itu, sebenarnya dia berontak kepada suruhan Kristus.
Apalagi dia seorang pelayan, berkhotbah sebaiknya tidak menjadi ”batu
sandungan”. Karena itu marilah kita benahi diri serta memberi diri dikuasai
Firman Allah (Yer 20:9). Kehadiran para pembawa berita sangatlah indah (Yes
52:7) dan akan menerima upah yang manis (1 Tim 5:17). Hal ini akan
membuat hati kita lega dan tentram, bila kita mau menunaikan tugas pelayanan dalam
berkhotbah.
Pelayan dan Khotbah !
Pelayan haruslah berkhotbah. Khotbah
haruslah tetap kontinu dan disusul pada hari-hari berikut. Membiasakan diri
menghindari berkhotbah, maka selanjutnya akan terasa seperti bumerang, atau
badan terasa berat sekali. Roster yang ada tentulah sangat membantu. Kontinu,
memaksudkan bahwa Firman yang dikhotbahkan pada umat bukan sekali untuk
selamanya. Sesudah itu tamat. Kita juga tidak berbicara seperti
”pengkhotbah-pengkhotbah ulung”, seolah-olah hal itu lebih sah dari khotbah
orang lain, dan seolah-olah khotbah yang berikut tidak diperlukan lagi. ”Pengkhotbah Ulung” hanya ada dalam pikiran
orang-orang saleh yang ”picik” .
Kita benar, manusia dan pelayan
berdosa, yang sebenarnya tidak layak berkhotbah. Namun, Tuhan masih memakai
kita sebagai alatNya. Hal itu harus dipahami setiap parhalado sebagai anugerah.
Sebab itu, saat berkhotbah, kita tetap sebagai manusia pendosa, yang dikuatkan
dan dimampukan Allah (Rom 10:16). Tidak mungkin karena kita seorang
pengkhotbah seorang pendosa, jadinya Firman tidak diberitakan. Firman Allah
tidak akan kembali begitu saja dengan sia-sia (Yes 55:11). Firman Allah
itu sendiri adalah seperti palu yang bergema dan menggemakan (Yer 23:29).
Firman itu juga adalah ”Kekuatan Allah” (1 Kor 1:18). Tanpa kitapun, Firman Allah akan tetap
bergema. Tidak mungkin Firman menjadi berhenti, bila kita malas, menghindar,
menolak untuk berkhotbah. Firman itu sendiri juga bekerja (bnd. Mat 3:9; Luk
3:8). Karena itu, janganlah sombong atau sebaliknya jual mahal, sebab tanpa
kitapun, langit dan cakrawala akan memberitakan Kabar Baik itu (Mzm 19:2-5;
bnd. Yes 65:1; BE. 143:4). Persoalannya adalah apakah jawaban kita atas Roma
10:13-15 atau misalnya saja dengan Yes
6:8 ?
Khotbah dan Defenisinya !
Hemat saya, sulit sekali mendefenisikan
khotbah. Kita hanya dapat mendengarkan khotbah (Rom 10:17). Isi
khotbahlah yang membuat kita mengerti apa sebenarnya khotbah itu, dan
menugaskan kita mengkhotbahkan suatu khotbah. Kedengarannya, hal ini tidak
logis, tetapi inilah logika yang Alkitabiah. Sebab, memang hanya Kristuslah
satu-satunya pengkhotbah yang benar. Karena itu, janganlah coba-coba membuat
Firman itu tergantung kepada kita, tetapi kitalah yang tergantung pada Firman
itu (2 Kor 4:7-10). Bodoh atau pintar, kuat atau lemah, Allah-lah yang
berbicara melalui kita.
Khotbah haruslah positif. Setiap
khotbah harus mengungkapkan kehendak Allah yang penuh kasih karunia untuk
membela orang berdosa di dalam Kristus Yesus. Khotbah menawarkan sesuatu yang
tidak dapat diberikan dunia. Khotbah menawarkan apa yang Tuhan berikan (Wahyu
dan Penyataan). Sebab itu, berkhotbah bukanlah kemuliaan kita, sebab kita
hanyalah mengkhotbahkan apa yang bukan dari kita. Kita hanya bertugas
mengkhotbahkannya, sekaligus
mendengarkannya (Pil 2:10-11; Yoh 4:35).
Hal ini menopang otoritas pengkhotbah
untuk melakukan tugasnya dengan sukacita. Tidak tergesa-gesa, tetapi juga tidak
bermalas-malas, bersifat menunggu. Bukan juga di bawah tekanan, tetapi di bawah
perintah dan perlindungan Allah. Bukan karena paksaan, tetapi kerelaan,
keterpanggilan mendengar dan menjawab panggilan pengutusan Allah. Dan satu
lagi, tetaplah dalam pengharapan yang penuh.
Perlu ditambahkan, khotbah adalah juga
bagian dari diri pengkhotbah. Jika tidak, maka berkhotbah tidak lain daripada gong
yang berkumandang, atau canang yang gemerinding saja” (1 Kor 13:1).
Kepribadian, tergolong suatu unsur khotbah. Sebaliknya, khotbah adalah
menyatunya pribadi kita dengan Allah yang bersuara melalui kita.
Pengkhotbah dan Tujuan Khotbah
Pengkhotbah adalah duta besar
Yesus Kristus. Duta besar (Apostel= utusan) bertugas mewakili tuannya menyampaikan
pesan dan titah rajanya. Dia tidak mempunyai hak pribadi dalam tugasnya, tetapi
yang mengutusnyalah (Mat 10:16). Dia juga tidak mempunyai hak pribadi
untuk merobah ataupun menggeser (”merekayasa”) pesan yang dibawa, tetapi siapa yang
memberi pesan, Dialah yang berdaulat.
Tujuan pokok khotbah adalah
menyampaikan Firman Allah, sehingga manusia MENGENAL Tuhan Allah, MENEMUKAN,
MENERIMA dan MENJADIKANNYA sebagai PEGANGAN HIDUP, lalu membiarkan dan
merelakan Allah berkuasa bekerja dalam dirinya. Dengan khotbah, menjadi ada
hubungan yang hidup antara manusia dengan Yesus Kristus. Artinya, pengkhotbah
tidak semata bertujuan membuat orang menjadi ”orang baik”, tetapi membuatnya
sebagai ”pengikut Kristus”. Orang baik belum tentu orang kristen. Tetapi
pengikut Kristus yang benar, akan otomatis menjadi orang baik. ”Orang baik”
bagi iman kristen adalah akibat dari mengikut Kristus.
Persiapan Khotbah
Belajar dan bekerjalah dengan rajin
dan tekun. Lalu,
pilih dan berilah waktu yang khusus untuk bersekutu dengan Allah sebelum
memulai dan mempersiapkan khotbah. Kemudian, mulailah dengan setia di dalam
doa, berbicaralah kepadaNya dan kemudian kepada orang-orang di dalam khotbah.
Sediakanlah waktu khusus untuk persiapan khotbah. Jangan menyalahkan dan
menuduh Roh Kudus dengan berkata: Ah, kan
Roh itu yang berbicara. Tak usah ada persiapan. Ingat, kita percaya, bukan
tolol. Ungkapan seperti itu hanyalah milik seorang yang malas
dan sombong (1 Kor 14:14-15).
Khotbah bukan pidato atau ceramah.
Karena itu, betul-betul mesti dipersiapkan. Khotbah sebenarnya tidak boleh
membosankan, kecuali pidato, ceramah atau yang lain. Firman Allah tidak akan
membosankan, kalau terus digali kekayaannya. Perjanjian Lama atau Perjanjian
Baru tidak perlu pilih kasih, ditonjolkan atau dibelakangkan. Keduanya adalah
satu: Alkitab !
Tentu,
semuanya mesti didahului dengan doa, meditasi yang sungguh serta perenungan
secara berulang-ulang inti pokok pemberitaan yang akan diberitakan. Lalu, kita
mesti yakin akan kebenaran Firman Tuhan itu sendiri. Sebab mengkhotbahkan
sesuatu yang tidak dipercayai, akan menjadikan seseorang menjadi ragu, dan
menjadikan diri sebagai penjual Firman. Lalu, kita sebaiknya mesti
menentukan kerygma (pokok pikiran, pesan, arti, makna, kebenaran) dari
teks Alkitab itu sendiri. Kemudian, merenungkan dan menentukan penerapan kerygma
itu dalam situasi konkrit jemaat atau pendengar masa kini.
Beberapa Hal Praktis
C Khotbah,
bukan omong-omong; tetapi menyampaikan Kabar Baik. Berdirilah dengan tegak,
lihatlah sekeliling dengan tenang dan pandanglah wajah segenap jemaat sebagai
saudara.
C Khotbah
dan mimbar, bukan arena balas dendam yang tidak gerejawi dan bukan pula arena
penampilan, mencari kesempatan dalam kesempitan. Apalagi kampanye segala macam yang tidak gerejawi.
C Semua pendengar khotbah harus
mendapat bagian dan dimengerti (Batak: Ris). Khotbah semestinya dapat ditangkap sesuai
dengan tingkat kemampuan bahasa yang dimiliki pendengar atau jemaat.
C Pengkhotbah harus tetap menyadari dirinya
sebagai manusia. Pendengar juga adalah manusia (bukan setan dan bukan pula
malaikat sehingga harus takut dan tunduk). Sebab itu, perlu pendekatan
manusiawi, dengan pikiran dan perasaan serta budaya yang mereka miliki yang
membangun.
C Memberi
khotbah yang komunikatif dan sapaan yang hidup. Tidak monoton dan simbolis,
tidak hanya kata-kata, tetapi juga dengan gerak-gerik dan mimik secukupnya.
C Ada kesan dan pesan (sipeopon) ni
naumbegesa. Ada juga himbauan atau nasehat (soso-soso) serta panggilan
untuk bertobat.
C Berkhotbah dengan diri sendiri, dan buah refleksi rohani dari diri sendiri.
C Secara
tematis, sebaiknya khotbah tidak lebih dari 3 sub thema.
C Pengkhotbah menghadapi jemaat (massa)
secara prima serta antisipatif terhadap gangguan yang mungkin terjadi (bisikan,
gesekan sepatu, menguap) dan lain
sebagainya.
C Memahami illustrasi dan memakainya jika tidak
bertentangan dengan nats khotbah (jelas motivasi dan tujuan). Hindarilah
illustrasi yang tabu, menyindir dan bersifat vonnis. Illustrasi
yang sama, jangan terlalu sering diulangi, apalagi dalam tempat yang sama. Illustrasi yang baik haruslah memperjelas
khotbah, sekaligus meningkatkan emosi pendengar atau jemaat secara
proporsional.
C Hindarilah
uraian yang berbau sinisme, vonnis dan persepsi negatif. Janganlah melanjutkan
apriori yang negatif.
C Janganlah memakan jengkol atau petai bila
hendak berkhotbah (bnd. ah, bau joring do poang parhalado i, jamitana pe
tong bau jengkol).
C Tidak memukul-mukul mimbar atau benda-benda
lainnya.
C Tidak berdialog secara sengaja, apalagi
berkepanjangan (bayangkan kalau jemaat bergurau dan menjawab: Oh tidaklah
yauw, ah masa....).
C Sebaiknya, tidak sampai tergoda meniru dan
mempraktekkan kegelisahan dan kritik jemaat.
C Tidak
lari dari rel (perikop khotbah yang sudah ditentukan), apalagi yang tidak
ada kaitannya secara tematis.
C Janganlah pernah mencoba berpura-pura
menyatakan: tertulis di surat ini....., di ayat ini...., padahal sesungguhnya
tidak benar.
C Tidak berapologet murahan antara Majelis jemaat
dengan anggota jemaat, apalagi dalam rangka menciptakan gap, atau memaksa diri
agar berwibawa.
C Sebelum
berkhotbah, makanlah makanan yang biasa. Dan janganlah lupa sikat gigi ! Tampillah
seadanya sebagai diri sendiri yang sesungguhnya. Janganlah tergoda untuk
meniru-niru cara, gaya dan suara orang lain.
C Hindarilah berbicara “ala moerdiono”.
Sekali lagi tentang illustrasi (dari kata “Illustate”
artinya memberi terang) haruslah memberi
kejelasan akan khotbah. Charles Haddon Spurgeon (1984-1892) berkata: Ilustrasi
yang tepat dan jitu akan melekat dalam jiwa, seperti mata kail pada mulut
ikan.
Penutup
Setiap kali Firman Tuhan dikhotbahkan, setiap kali pula
hati kecil manusia menjadi bahagia, luas dan pasti di hadapan Allah. Firman itu
penuh karunia, pengampunan serta kata-kata yang baik dan bermanfaat. Hati kecil
juga menjadi sedih, kecil, khawatir, karena diperlihatkan apa yang tidak
diperbuat manusia dalam segala sesuatu yang seharusnya diperbuat.
Tuhan menguatkan kita dalam tugas pelayanan, khususnya
dalam hal berkhotbah. Sinarilah kegelapan dengan terang (2 Kor 4:6).
Janganlah menganggap diri pandai (Rom 11:25; 12:16). Namun, bila merasa
tidak mampu, yakinlah Tuhan akan memperlengkapi, menguatkan serta menguatkan anda
(Dan 1:17; Kel 4:10). Kiranya tulisan pendek ini dapat kembali menggugah
motivasi dan semangat segenap pelayan partohonan di HKBP, untuk terpanggil
secara tulus dan rela untuk menyampaikan Firman Allah melalui khotbah. Marilah
kita juga renungkan kembali Roma 8:37-39; Yer 20:9 dan 1 Kor 9:18-18.-
bs.doc